Just Because Everythings Changing part IV
Tidak
banyak yang kulakukan hari ini. Hanya ku lewati dengan istirahat panjang di atas
kasur. Maklum saja hari minggu waktunya untuk bermalas-malasan. Itu yang
terbersit dalam benakku saat ini. Hari ini kau merebahkan diri mulai dari jam 6
pagi sampai jam 2 siang. Sesekali kau terbangun dari lelap. Aku mengambil
ponselku, mengecek apakah ada pesan yang datang. Rupanya ada pesan singkat dari
Syarifah yang menanyakan tentang tugas di kampus. Setelah membaca pesan itu aku
terlelap kembali. Aku tidak sempat melihat jam berapa saat itu. Aku bahkan
tidak menyadari hari yang tadi pagi mendung kini sudah cerah kembali. Saat itu
yang ada hanya mata yang terasa sangat berat untuk di buka.
Aku
seakan kehabisan cat untuk melukis kanvas kehidupanku hari ini. Mungkin saja aku
terlalu lelah karena semalam ku habiskan waktu dengan teman setiaku yaitu computer mini dan segela kopi
ulee kareng. Matahari yang meyusuri kamarku tidak kuasa membangunkan tubuh
kecil ini. tak tahu mengapa, hari ini memang bukan hari yang tepat untuk
neraktifitas seperti hari-hari libur lainnya. Lagi-lagi ponselku bordering
kencang, Syarifah lagi yang mengirim pesan singkat. “Ngapaen, Akhi?”. Aku tidak sanggup membalasnya lagi. Ya walaupun
kasihan juga karena tak menggubris pesan dari Syarifah tersebut. Aku
menonaktifkan ponsel using ku itu. Aku tak mau di ganggu oleh suara-suara
keributan dunia hari ini. kembali aku terbuai oleh nikmatnya hilang ingatan
sesaat itu.
*************************************
Aku
seakan melihat Syarifah hadir tepat di samping kepala tempat aku tidur
sekarang. Perawakannya yang aduhai di balut dengan pakaian yang serba putih
menambah nilai pesona yang di pancarkan Syarifah kali ini. Ia bagaikan bidadari
milik yang turun dari surge untuk menjemput para syuhada. Ia mengusap dahiku yang lebar seakan-akan ia
ingin mencurahkan seluruh penderitaannya kepadaku. Dia mengambil tanganku
sambil di pegangnya dengan lembut. Telingaku sempat mendengar ia berbisik “ Ifa
sangat bosan dengan hidup seperti ini, Akhi.
Entah sampai kapan harus bersahabat dengan penderitaan ini. Ifa tidak tahu
hendak bercerita kepada siapa lagi tentang derita ini.”
Matanya
yang berbinar indah membuatku tertegun sejenak karena kagum terhadapnya.
Bibirku bergerak pelan lalu berkata, “Mengapa harus bersedih, kalau harapan
masih panjang. Mengapa tidak mendayung perahu yang tersedia di muara,walaupun
jauh di hadapan mata? Ifa harus kuat mengahadapi dunia yang terlalu sering
membuat airmata kita ini turun tak berguna. Terlalu banyak kepedihan yang
harusnya tidak terjadi”.
Aku
memegang tangannya erat seraya menguatkan hatinya yang karam di terjang badai
prahara cinta. Semakin ku dekap tangannya, semakin kuat pula desiran airmata
yang keluar dari mata indahnya. Sudah saatnya mungkin ia begini. Menumpahkan
semua keresahan hatinya itu. Airmatanya itu mewakili semua yang ingin katakan
kepadaku hari ini. walaupu tanpa kata itu sangat dalam maknanya bagiku.
Terlintas dalam hatiku untuk memeluk tubuhnya itu, tapi urung kulakukan karena
itu di larang oleh agama.
Aku
berfikir, mengapa aku tidak menyatakan cinta terhadapnya. Siapa tahu itu bisa
mengobati luka Syarifah selama ini. Tapi aku rasa takutku terlalu besar untuk menyatakan hal itu kepadanya. Aku takut
ia marah kepadaku, walaupun aku tahu ia pernah mencintaiku. Mungkin saja
sekarang perasaan itu sudah mulai pudar seiring waktu yang membawanya masuk ke
situasi yang semakin tidak menentu. Atau pun bisa jadi perasaan cintany
terhadapku semakin betmabah karena kenyataan yang di hadapinya jauh dari
harapan.
Aku
menatap matanya dalam-dalam seraya mencoba memberanikan diri untuk mengutarakan perasaanku terhadap Syarifah
secara tersirat. Syarifah tidak begitu menghiraukan hal itu. Ia masih sibuk
menghapus airmata dengan sapu tangan mataharinya. Kali ini aku mencoba
berbicara secara terbuka kepaanya.
“Ifa, memang tidak sepatutnya Akhi menyatakan hal ini
kepada Syarifah. Bagaimana kalau Syarifah membuka lembaran catatan cinta Ifa
dengan Akhi?” ungkapku secara gamblang.
Saat
itu aku tidak teringat kalau aku sudah mempunyai seorang kekasih, Rahma.
Perasaan terhadap Rahma seakan hilang begitu saja, bahkan aku tidak berfikir
pernah mengenal Rahma sebelumnya. Mungkin karena terbawa perasaan ingin
mengurangi beban yang di pikul oleh Syarifah. Ya begitulah keadaannya apabila
terlalu terbawa perasaan, sampai-sampai kekasih sendiri aku lupakan.
Aku
belum mendengar jawaban dari Syarifah. Aku semakin deg-degan ingin mendengar
jawaban dari mulut Syarifah tentang perasaannya terhadapku sekarang. Aku
menatapnya wajahnya yang ayu tapi semakin aku pandang wajahnya semakin kabur
dari pandanganku. Tiba-tiba wajah ayu tersebut berubah menjadi wajah manusia
purba yang tidak tahu entah dari mana datangnya. Wajah sangar itu mendekati aku
dan meraih tanganku. Rupanya itu adalah teman sekamarku yang mengembalikanku
dari alam mimpi yang begitu indah selama hidupku ini.
Aku
telah di buai oleh bunga tidur tadi. Aku tak sempat mendengar jawaban dari
Syarifah tentang perasaannya kepadaku. Apapun itu aku sangat senang karena
sempat begitu dekat dengan Syarifah walau hanya dalam mimpi. Aku tersadar,
mungkin Syarifah itu terlalu jauh untuk di gapai. Cukuplah Rahma untuk teman
hidupku sekarang dan aku berharap perasaan itu tidak akan berubah lagi.
Amin.
@Roemah Reinza 01.39. 05/03/12
Comments
Post a Comment