Just Because Everythings Changing part IV


fisyaradzi.blogspot.com
Tidak banyak yang kulakukan hari ini. Hanya ku lewati dengan istirahat panjang di atas kasur. Maklum saja hari minggu waktunya untuk bermalas-malasan. Itu yang terbersit dalam benakku saat ini. Hari ini kau merebahkan diri mulai dari jam 6 pagi sampai jam 2 siang. Sesekali kau terbangun dari lelap. Aku mengambil ponselku, mengecek apakah ada pesan yang datang. Rupanya ada pesan singkat dari Syarifah yang menanyakan tentang tugas di kampus. Setelah membaca pesan itu aku terlelap kembali. Aku tidak sempat melihat jam berapa saat itu. Aku bahkan tidak menyadari hari yang tadi pagi mendung kini sudah cerah kembali. Saat itu yang ada hanya mata yang terasa sangat berat untuk di buka.
            Aku seakan kehabisan cat untuk melukis kanvas kehidupanku hari ini. Mungkin saja aku terlalu lelah karena semalam ku habiskan waktu dengan teman  setiaku yaitu computer mini dan segela kopi ulee kareng. Matahari yang meyusuri kamarku tidak kuasa membangunkan tubuh kecil ini. tak tahu mengapa, hari ini memang bukan hari yang tepat untuk neraktifitas seperti hari-hari libur lainnya. Lagi-lagi ponselku bordering kencang, Syarifah lagi yang mengirim pesan singkat. “Ngapaen, Akhi?”. Aku tidak sanggup membalasnya lagi. Ya walaupun kasihan juga karena tak menggubris pesan dari Syarifah tersebut. Aku menonaktifkan ponsel using ku itu. Aku tak mau di ganggu oleh suara-suara keributan dunia hari ini. kembali aku terbuai oleh nikmatnya hilang ingatan sesaat  itu.
            *************************************
            Aku seakan melihat Syarifah hadir tepat di samping kepala tempat aku tidur sekarang. Perawakannya yang aduhai di balut dengan pakaian yang serba putih menambah nilai pesona yang di pancarkan Syarifah kali ini. Ia bagaikan bidadari milik yang turun dari surge untuk menjemput para syuhada.  Ia mengusap dahiku yang lebar seakan-akan ia ingin mencurahkan seluruh penderitaannya kepadaku. Dia mengambil tanganku sambil di pegangnya dengan lembut. Telingaku sempat mendengar ia berbisik “ Ifa sangat bosan dengan hidup seperti ini, Akhi. Entah sampai kapan harus bersahabat dengan penderitaan ini. Ifa tidak tahu hendak bercerita kepada siapa lagi tentang derita ini.”
            Matanya yang berbinar indah membuatku tertegun sejenak karena kagum terhadapnya. Bibirku bergerak pelan lalu berkata, “Mengapa harus bersedih, kalau harapan masih panjang. Mengapa tidak mendayung perahu yang tersedia di muara,walaupun jauh di hadapan mata? Ifa harus kuat mengahadapi dunia yang terlalu sering membuat airmata kita ini turun tak berguna. Terlalu banyak kepedihan yang harusnya tidak terjadi”.
            Aku memegang tangannya erat seraya menguatkan hatinya yang karam di terjang badai prahara cinta. Semakin ku dekap tangannya, semakin kuat pula desiran airmata yang keluar dari mata indahnya. Sudah saatnya mungkin ia begini. Menumpahkan semua keresahan hatinya itu. Airmatanya itu mewakili semua yang ingin katakan kepadaku hari ini. walaupu tanpa kata itu sangat dalam maknanya bagiku. Terlintas dalam hatiku untuk memeluk tubuhnya itu, tapi urung kulakukan karena itu di larang oleh agama.
            Aku berfikir, mengapa aku tidak menyatakan cinta terhadapnya. Siapa tahu itu bisa mengobati luka Syarifah selama ini. Tapi aku rasa takutku terlalu besar  untuk menyatakan hal itu kepadanya. Aku takut ia marah kepadaku, walaupun aku tahu ia pernah mencintaiku. Mungkin saja sekarang perasaan itu sudah mulai pudar seiring waktu yang membawanya masuk ke situasi yang semakin tidak menentu. Atau pun bisa jadi perasaan cintany terhadapku semakin betmabah karena kenyataan yang di hadapinya jauh dari harapan.
            Aku menatap matanya dalam-dalam seraya mencoba memberanikan diri untuk  mengutarakan perasaanku terhadap Syarifah secara tersirat. Syarifah tidak begitu menghiraukan hal itu. Ia masih sibuk menghapus airmata dengan sapu tangan mataharinya. Kali ini aku mencoba berbicara secara terbuka kepaanya.
“Ifa, memang tidak sepatutnya Akhi menyatakan hal ini kepada Syarifah. Bagaimana kalau Syarifah membuka lembaran catatan cinta Ifa dengan Akhi?” ungkapku secara gamblang.
            Saat itu aku tidak teringat kalau aku sudah mempunyai seorang kekasih, Rahma. Perasaan terhadap Rahma seakan hilang begitu saja, bahkan aku tidak berfikir pernah mengenal Rahma sebelumnya. Mungkin karena terbawa perasaan ingin mengurangi beban yang di pikul oleh Syarifah. Ya begitulah keadaannya apabila terlalu terbawa perasaan, sampai-sampai kekasih sendiri aku lupakan.
            Aku belum mendengar jawaban dari Syarifah. Aku semakin deg-degan ingin mendengar jawaban dari mulut Syarifah tentang perasaannya terhadapku sekarang. Aku menatapnya wajahnya yang ayu tapi semakin aku pandang wajahnya semakin kabur dari pandanganku. Tiba-tiba wajah ayu tersebut berubah menjadi wajah manusia purba yang tidak tahu entah dari mana datangnya. Wajah sangar itu mendekati aku dan meraih tanganku. Rupanya itu adalah teman sekamarku yang mengembalikanku dari alam mimpi yang begitu indah selama hidupku ini.
            Aku telah di buai oleh bunga tidur tadi. Aku tak sempat mendengar jawaban dari Syarifah tentang perasaannya kepadaku. Apapun itu aku sangat senang karena sempat begitu dekat dengan Syarifah walau hanya dalam mimpi. Aku tersadar, mungkin Syarifah itu terlalu jauh untuk di gapai. Cukuplah Rahma untuk teman hidupku sekarang dan aku berharap perasaan itu tidak akan berubah lagi. Amin. 


@Roemah Reinza 01.39. 05/03/12

Comments

Popular posts from this blog

(Karena) Lelaki itu Tukang Olah

Jampok

Bansa Teuleubeh +