Kuburan Ta Peugala

            
Source Image : theglobejournal.com
Suasana di ruang tengah masih tegang. Semua keluarga yang berkumpul angkat bicara. Tidak ada seorang pun yang ingin mengalah dan ikut pada keputusaan bersama. Semuanya mengeluarkan ide-ide gila. Tidak logis, bahkan bisa dikatakan durhaka. Tiba-tiba, seluruh ruangan dikejutkan dengan suara tamparan kayu meja. “Plaakkk!” Suaranya setidaknya bisa mendiamkan suasana yang bak hiruk pikuk pasar pagi.
“Kita berkumpul di ruangan ini tujuannya hanya satu. Membicarakan hal yang penting dan kita keluar dengan sebuah hasil,” Marzuki mengangkat suara.
“Hasil yang bagaimana? jika kita di sini saling hujat, cerca dan hina. Sudah satu setengah jam kita saling menuding, menaruh curiga dan membalas hina,” balas Amin.
“Baiklah, semuanya tenang. Kita kembali ke permasalahan awal. Kita berkumpul di sini untuk membicarakan tentang kebangkrutan perusahaan keluarga kita. Dan di sini kita perlu solusi. Apa yang harus kita perbuat untuk menyelamatkan lumbung penghasilan kita dan keluarga?,” Amir berusaha menyeimbangkan suasana dan fokus pada permasalahan awal.
            Suasana pun kembali hening. Semuanya berusaha memikirkan solusi. Pemandangannya juga menjadi aneh. Hanya tersingkap wajah-wajah frustasi dengan dahi yang mengerut dan alis yang naik turun. Ada juga yang menulis sambil menggaruk kepala.
            *******
            Awal tahun 2008
            Sebuah ambulance meraung-raung keras di dekat lorong rumah Marzuki. Semua orang yang berkumpul di rumah itu mengumbar perasaan berduka. Ada yang memakai pakaian serba hitam ditambah aksesoris kacamata gelap, ada juga yang memakai peci putih. Terlihat raut wajah di selimuti dengan kesedihan. Marzuki beserta keluarganya sudah berkumpul di ruang tengah. Bersiap-siap menyambut jenazah orangtuanya yang sudah dikafankan di kamar jenazah rumah sakit beberapa jam yang lalu. Sebelum meninggal, Ben Guron, ayahnya Marzuki sempat mendapatkan perawatan intensif atas penyakit jantungnya. Namun jiwanya tidak tertolong setelah terlelap di kasur pesakitan selama seminggu.
            Keluarga Tgk Ben, sapaan akrab Ben Guron, memiliki keluarga yang tergolong besar. Tgk Ben memiliki banyak anak. Mereka semua berenam, empat laki-laki dan dua perempuan. Marzuki adalah anak pertama diikuti oleh Zahara, Amin, Fatimah, Amir, dan yang terakhir namanya Abdullah. Akrab di panggil dengan nama Dolah. Sebagai anak yang paling bungsu, Dolah saat itu sudah berusia 10 tahun, terpaut 12 tahun lebih tua saudara tertuanya Marzuki.         
            Sebelum meninggal, Tgk Ben sempat memanggil semua anak-anaknya. Anak-anaknya dikumpulkan dalam satu ruangan tertutup. Dan hanya mereka bertujuh yang mengetahui pembicaraan rahasia itu. Pembicaraannya berlangsung lama dan serius. Sekali-kali Zahara dan Dolah mengusap-ngusap tangan Tgk Ben. Tgk Ben masih melanjutkan pembicaraan dengan komat-kamit mulut yang mulai melemah. Suasana yang tenang dalam ruang perawatan VIP itu  kemudian pecah dengan keluar hentakan tangis dari Fatimah. Tgk Ben sudah tidak bernyawa.
            ****
            Semua yang terduduk dalam ruangan itu masih buntu ide. Fikiran tentang gagasan brilian seakan malas untuk keluar dari kepala sederhana mereka. Fatimah sudah mulai menggerutu dengan sendiri.
            “Kenapa harus kita yang bertanggungjawab atas kebangkrutan perusahaan ayah. Kenapa pulak ayah meninggalkan wasiat yang aneh bin rumit kala itu. Sekarang kan kita yang harus menanggung akibatnya.” Ujar Fatimah.
            “Walau bagaimanapun, ini tetap tanggungjawab kita semua. Kita harus berusaha mengeluarkan ide untuk permasalahan ini. jangsan sampai usaha yang dibangun oleh Ayah menjadi rongsokan tua di kemudian hari. Dan kita menjadi gembel peminta-minta. Aku tidak sudi menjadi gembel di jalan raya.” tukas Zahara.
            Tiba-tiba Amir, anak kelima yang berperawakan ceking, mengacungkan tangan. Kelihatannya ia mempunyai yang brilian.
            “Kita berkumpul disini atas nama keluarga. Dengan tujuan mencari solusi menyelamatkan keluarga. Kan kita disini sudah bersepakat. Bersepakat untuk menyelamatkan keluarga. Kita gadaikan saja lahan kuburan orangtua kita.”
            Semuanya tercengang. Gagasan yang diluar dugaan. Brilian.
            ****
            Dinegeri bawah tanah, tepatnya di negeri kuburan, semuanya penghuninya tersentak. Seakan ada goyangan yang maha dahsyat. Bukankah hari ini hari Jum’at, setidaknya malaikat penyiksa libur dari tugas. Rupanya goncangan itu dari bilik keranda Tgk Ben. Tgk Ben menggerutu dengan sekencang-kencangnya. Beberapa kali keluar umpatan makian untuk anak-anaknya.
            “Bagaimana bisa kalian mencoba untuk menggadaikan lahan kuburanku. Apakah kalian kurang terpelajar untuk hal itu? Apa yang salah dengan didikan kalian, Nak? Apakah kalian tidak sayang lagi terhadapku, orang tuamu?”
            “Kenapa kau Tgk Ben? Tidak bisakah kau tenang sedikit? Hari ini kan hari Jum’at? Seharusnya kau tenang. Nikmatilah hari liburmu.”
            “Aku tidak bisa tenang Nyak Ummah. Aku tidak bisa. Bagaimana mungkin mereka, anak-anakku, melakukan itu kepadaku. Kepada orangtuanya. Mereka berniat menggadaikan kuburanku. Apakah pikiran mereka sudah terkontaminasi dengan cairan matrealisme yang mengesampingkan rasa sosial keluarga? Bukankah disini aku hanya tinggal tulang belulang saja? Mengapa aku harus menanggung banyak derita? Derita dari malaikat juga dari perusahaan pegadaian yang akan menjadi majikanku nanti.”
            ****
            “Kita akan menggadaikan tanah kuburan orangtua kita. Ini untuk kebaikan kita bersama. Kita tidak mau jatuh miskin, dan ayah tidak mau perusahaannya bangkrut. Kita dan ayah akan sama-sama senang,” Marzuki mengikrarkan keputusan akhir.

Raut wajah penghuni ruangan kini sumringah. Ceria. Senang. Tenang.

Comments

Popular posts from this blog

(Karena) Lelaki itu Tukang Olah

Jampok

Bansa Teuleubeh +