Kuburan Ta Peugala
“Kita berkumpul di ruangan ini tujuannya hanya satu.
Membicarakan hal yang penting dan kita keluar dengan sebuah hasil,” Marzuki
mengangkat suara.
“Hasil yang bagaimana? jika kita di sini saling hujat,
cerca dan hina. Sudah satu setengah jam kita saling menuding, menaruh curiga
dan membalas hina,” balas Amin.
“Baiklah, semuanya tenang. Kita kembali ke permasalahan
awal. Kita berkumpul di sini untuk membicarakan tentang kebangkrutan perusahaan
keluarga kita. Dan di sini kita perlu solusi. Apa yang harus kita perbuat untuk
menyelamatkan lumbung penghasilan kita dan keluarga?,” Amir berusaha
menyeimbangkan suasana dan fokus pada permasalahan awal.
Suasana
pun kembali hening. Semuanya berusaha memikirkan solusi. Pemandangannya juga
menjadi aneh. Hanya tersingkap wajah-wajah frustasi dengan dahi yang mengerut
dan alis yang naik turun. Ada juga yang menulis sambil menggaruk kepala.
*******
Awal tahun 2008
Sebuah ambulance meraung-raung
keras di dekat lorong rumah Marzuki. Semua orang yang berkumpul di rumah itu mengumbar
perasaan berduka. Ada yang memakai pakaian serba hitam ditambah aksesoris kacamata
gelap, ada juga yang memakai peci putih. Terlihat raut wajah di selimuti dengan
kesedihan. Marzuki beserta keluarganya sudah berkumpul di ruang tengah.
Bersiap-siap menyambut jenazah orangtuanya yang sudah dikafankan di kamar
jenazah rumah sakit beberapa jam yang lalu. Sebelum meninggal, Ben Guron,
ayahnya Marzuki sempat mendapatkan perawatan intensif atas penyakit jantungnya.
Namun jiwanya tidak tertolong setelah terlelap di kasur pesakitan selama
seminggu.
Keluarga
Tgk Ben, sapaan akrab Ben Guron, memiliki keluarga yang tergolong besar. Tgk Ben
memiliki banyak anak. Mereka semua berenam, empat laki-laki dan dua perempuan.
Marzuki adalah anak pertama diikuti oleh Zahara, Amin, Fatimah, Amir, dan yang
terakhir namanya Abdullah. Akrab di panggil dengan nama Dolah. Sebagai anak
yang paling bungsu, Dolah saat itu sudah berusia 10 tahun, terpaut 12 tahun
lebih tua saudara tertuanya Marzuki.
Sebelum
meninggal, Tgk Ben sempat memanggil semua anak-anaknya. Anak-anaknya
dikumpulkan dalam satu ruangan tertutup. Dan hanya mereka bertujuh yang
mengetahui pembicaraan rahasia itu. Pembicaraannya berlangsung lama dan serius.
Sekali-kali Zahara dan Dolah mengusap-ngusap tangan Tgk Ben. Tgk Ben masih
melanjutkan pembicaraan dengan komat-kamit mulut yang mulai melemah. Suasana
yang tenang dalam ruang perawatan VIP itu
kemudian pecah dengan keluar hentakan tangis dari Fatimah. Tgk Ben sudah
tidak bernyawa.
****
Semua
yang terduduk dalam ruangan itu masih buntu ide. Fikiran tentang gagasan
brilian seakan malas untuk keluar dari kepala sederhana mereka. Fatimah sudah
mulai menggerutu dengan sendiri.
“Kenapa
harus kita yang bertanggungjawab atas kebangkrutan perusahaan ayah. Kenapa pulak ayah meninggalkan wasiat yang aneh
bin rumit kala itu. Sekarang kan kita yang harus menanggung akibatnya.” Ujar
Fatimah.
“Walau
bagaimanapun, ini tetap tanggungjawab kita semua. Kita harus berusaha
mengeluarkan ide untuk permasalahan ini. jangsan sampai usaha yang dibangun
oleh Ayah menjadi rongsokan tua di kemudian hari. Dan kita menjadi gembel peminta-minta.
Aku tidak sudi menjadi gembel di jalan raya.” tukas Zahara.
Tiba-tiba
Amir, anak kelima yang berperawakan ceking, mengacungkan tangan. Kelihatannya
ia mempunyai yang brilian.
“Kita
berkumpul disini atas nama keluarga. Dengan tujuan mencari solusi menyelamatkan
keluarga. Kan kita disini sudah bersepakat. Bersepakat untuk menyelamatkan
keluarga. Kita gadaikan saja lahan kuburan orangtua kita.”
Semuanya
tercengang. Gagasan yang diluar dugaan. Brilian.
****
Dinegeri
bawah tanah, tepatnya di negeri kuburan, semuanya penghuninya tersentak. Seakan
ada goyangan yang maha dahsyat. Bukankah hari ini hari Jum’at, setidaknya
malaikat penyiksa libur dari tugas. Rupanya goncangan itu dari bilik keranda Tgk
Ben. Tgk Ben menggerutu dengan sekencang-kencangnya. Beberapa kali keluar
umpatan makian untuk anak-anaknya.
“Bagaimana
bisa kalian mencoba untuk menggadaikan lahan kuburanku. Apakah kalian kurang
terpelajar untuk hal itu? Apa yang salah dengan didikan kalian, Nak? Apakah
kalian tidak sayang lagi terhadapku, orang tuamu?”
“Kenapa
kau Tgk Ben? Tidak bisakah kau tenang sedikit? Hari ini kan hari Jum’at?
Seharusnya kau tenang. Nikmatilah hari liburmu.”
“Aku
tidak bisa tenang Nyak Ummah. Aku tidak bisa. Bagaimana mungkin mereka,
anak-anakku, melakukan itu kepadaku. Kepada orangtuanya. Mereka berniat
menggadaikan kuburanku. Apakah pikiran mereka sudah terkontaminasi dengan
cairan matrealisme yang mengesampingkan rasa sosial keluarga? Bukankah disini aku
hanya tinggal tulang belulang saja? Mengapa aku harus menanggung banyak derita?
Derita dari malaikat juga dari perusahaan pegadaian yang akan menjadi majikanku
nanti.”
****
“Kita
akan menggadaikan tanah kuburan orangtua kita. Ini untuk kebaikan kita bersama.
Kita tidak mau jatuh miskin, dan ayah tidak mau perusahaannya bangkrut. Kita
dan ayah akan sama-sama senang,” Marzuki mengikrarkan keputusan akhir.
Raut wajah penghuni ruangan kini sumringah. Ceria.
Senang. Tenang.
Comments
Post a Comment