BUDAYA ACEH; CARA LAIN MENCINTAI RAPA'I

Sejarah Singkat Rapa'i
Budaya Aceh yang satu ini sudah sangat masyhur seantero Nusantara bahkan dunia dan dikenal sebagai bagian dari alat musik perkusi Aceh. Alat ini menjadi simbol dakwah syiar Islam dimasa lampau. Nama alat tersebut adalah Rapa’i. siapa yang tidak kenal rapa’i. dari balita hingga dewasa pasti mengenal yang namanya rapa’i.  Rapa’I menurut sejarah masuk ke Aceh melalui penyebaran Islam di Pasai pada sekitar abang ke-13. Kesenian rapa’i ini dibawa oleh Syeh Abdul Qadir Jailani yang meneruskan ajaran tasawuf daripada Syeh Ahmad Rifa’i yang berasal dari Baghdad, Irak. Oleh sebab itu maka tidak aneh jika penabalan nama belakang syeh Ahmad Rifa’I menjadi nama kesenian ini, yaitu rapa’i.
Pada zaman itu rapa’i menjadi media strategis bagi pengembangan agama Islam dan kebudayaan yang langsung dipraktekkan dalam berbagai aktivitas kebudayaan dan agama. Kesenian rapa’I ini difugsikan sebagai media penyemarak setiap acara yang berhubungan dengan keagamaan seperti meudike, maulid nabi dan sebagainya. Sayyed Hosen Nasr  menyatakan bahwa seni Islam adalah sarana yang memungkinkan ruh Islam menembusi segala perkara dan bentuk aktivitas, menyerap ke seluruh kehidupan manusia untuk mengingatkan mereka akan kehadiran Tuhan kemanapun mereka melangkah pergi.
***
Pembagian Jenis Rapa'i
Adapun menurut jenisnya, rapa’i juga diklasifikasikan dalam beberapa jenis sebagai berikut;
a. Rapa’i Pasee, yaitu rapa’i yang berkembang diwilayah Pasee (Aceh Utara dan sekitarnya). Bentuknya bervariasi dan dibawakan dalam bentuk grup. Dalam formasi ini, rapa’I pasee terdiri dari rapa’I yang besar sebanyak 30 rapa’I, lalu 15 unit rapa’I sedang dan 10-12 unit rapa’i berukuran kecil. Biasanya rapa’i ini biasa dimainkan dengan cara digantung lalu ditabuh.
b. Rapai Daboh atau yang dikenal dengan rapai debus adalah sebuah kesenian  rakyat Aceh sebagai bentuk sikap religius yang mengandung unsur mistis, kesenian ini pada awalnya merupakan bentuk upacara keagamaan yang dilakukan oleh aliran tarekat sufidari kelompok rifa’iyyah yang menyerupai atraksi bela diri denganmenguji ketahanan fisik sorang pemainnya dengan alat-alat senjata tajam seperti rencong  (senjata khas Aceh), Pedang,  pisau, dan lain sebagainya. Filosofi dari Rapai dabus ini adalah bahwa semua unsur yang ada dimuka bumi ini tunduk kepada Allah sang maha pencipta, sehingga unsur-unsur tersebut seperti besi, api, angin akan tunduk kepada orang yang terus menerusber munajat dan ingat  kepada-Nya.
c. Rapa'i Geurimpheng, dalam penyajiannya dilakukan  setelah para penabuh Rapai duduk berbaris yang dipimpin seorang khalifah, dengan melakukan pertunjukan yang diselingi dengan atraksi-atraksi dalam berbagai komposisi yang bervariasi sesuai irama tabuhan rapai. Lagu-lagu  yang dipersembahkan mengandung pesan, kisah dan harapan-harapan.
***
Rapa'i Zaman Sekarang
Zaman semakin berubah, banyak hal yang semakin bergeser dari tatanan yang sebenarnya. Dulu kesenian rapa’i digunakan sebagai alat penyebaran Islam sedangkan sekarang hanya digunakan sebagai kesenian saja. Kesenian yang menjadi bagian dari perwujudan kebudayaan yang disimbolkan dengan gerak dan tetabuhan alat yang mengeluarkan bunyi indah. Rapa’i hanya dimainkan ketika acara-acara tertentu saja, seperti acara pemerintahan, pesta perkawinan dan acara-acara kebudayaan. Selain itu juga peminat permainan musik ini adalah kalangan khusus. Bahkan dibeberapa daerah, permainan rapa’i ini dilarang karena mennurut beberapa tetua tidak sesuai dengan kaidah ajaran Islam. Bermain rapa’i membuat pemainnya lupa agama dan lain sebagainya. Itulah sekelumit permasalahan rapa’i dizaman sekarang ini. Lalu bagaiamana sikap kita selaku milenial penerus kebudayaan bangsa?
Gambar 1 : Simulasi siklus proses pembuatan rapa'i
***
Cara Lain Mencintai Rapa'i
Sekitar sepekan yang lalu, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh mengadakan acara tahunan yaitu International Aceh Percussion Percussion 2019 di Bireuen. Acara tahunan ini dulunya bernama Aceh International Rapa’I Festival (ACIRAF) dan di tahun 2019 ini resmi berganti nama menjadi International Aceh Percussion Percussion 2019. Tahun pertama, gelaran festifval ini diadakan di Banda Aceh pada tahun 2017, lalu tahun ke-2, Kota Lhokseumawe dipercayakan menjadi tuan rumah. Baik, kita kembali ke pokok bahasan awal, yaitu tentang rapa’i. Pada acara International Aceh Percussion Percussion 2019 (selanjutnya disingkat dengan IAPP 2019) dibuka dengan penampilan ratusan penari rapa’i Pulot Geurimpheng. Acara ini terbilang sukses karena dihadiri oleh 2 negara intenasional yaitu China dan India.
Gambar 2: Pengrajin rapa'i sedang menghaluskan bakal rapa'i (dok.pribadi)
Selain penampilan ratusan penari tersebut, ada hal lain yang menarik perhatian saya yaitu pameran karya kriya  milik Hamzah, mahasiswa ISI Padang Panjang. Dia memamerkan karya kriyanya dengan muatan rapa’i sebagai objek. Totalnya ada lima karya kriya yang dipamerkan Hamzah. Berikut adalah kurasi karya tersebut:
a. Karya pertama adalah rukoen. Dalam penjelasannya, rukoen ini adalah simbol dari sendi tumpuan untuk melakukan segala hal. Begitupun halnya dalam pertunjukan rapa’i, ia mempunyai rukun-rukun tertentu yang menjadi tumpuan permainan rapa’i itu sendiri. Adapun pengertian rukun dalam rapa’i harus selaras dengan  rukun Iman dan rukun Islam. 
b. Karya kedua adalah sapue pakat. Ini dapat disimpulkan dalam berkesenian rapa’i ada kesepakatan tertentu baik dalam nada dan gerakan. Jika tidak terjadi kesepakatan terhadap nada, gerakan, dan intonasi maka rusaklah semua estetika dalam permainan rapa’i.
c. Karya ketiga adalah lahee.  Disini hal yang ingin divisualkan oleh karya tersebut adalah kelahiran rapa’i itu sendiri. Sebagaimana manusia, kita tidak dapat memilih lahir dari Rahim siapa dan akan menjadi siapa dimasa depan. Begitupun juga dengan rapa’i,. Ia tidak memilih lahir menjadi alat musik Aceh. Namun secara tidak terduga rapa’i menjadi alat musik Aceh dan masih dimainkan hingga sekarang.
d. Karya keempat adalah meubaloet. Esensi dari karya ini adalah untuk menunjukkan rapa’i ini merupakan alat pemersatu masyarakat juga pemersatu dengan Dzat Yang Maha Agung. Mengapa demikian? Dalam konteks sekarang, dengan bermain rapa’i secara tidak langsung sudah menambah jalinan persaudaraan yang baru. Begitupun hubungan dengan Allah, dalam permainan rapa’i ada syair-syair tentang keaagungan Allah swt.
e. Yang kelima adalah peutimang wareeh. Dalam hal ini, karya ini disimbolkan bahwa rapa’i itu diwariskan dari masa ke masa untuk anak cucu dimasa depan. Ada nilai dakwah dan nilai pendidikan yang divisualkan oleh karya peutimang wareeh ini. 


Gambar 3: Karya Sapue Pakat (dok.pribadi)
***
Kesimpulan
Dalam pandangan saya, ada banyak ruang yang tersedia untuk kita isi dalam pelestarian budaya Aceh, khususnya rapa’i. Seperti halnya Hamzah, seorang seniman kriya memilih mencintai rapa’i dengan cara yang tidak biasa. Ia memvisualkan rapa’i dengan keahliannya mengukir kayu lalu menyiratkan makna-makna tertentu yang kemudian bisa disimpulkan oleh setiap pribadi masyarakat. Maka boleh jadi, Hamzah tidak bisa bermain rapa’i dengan cara memukul tapi ia lihai dalam melukiskan makna rapa’i dalam tehnik kriyanya. Saya juga mempunyai cara unik dalam mencintai rapa’i, begitu juga Anda. Mari sama-sama kita berkarya untuk kemashlahatan dimasa yang akan datang.


Keterangan

Kriya: kegiatan seni yang menitik-beratkan kepada keterampilan tangan dan fungsi untuk mengolah bahan baku yang sering ditemukan di lingkungan menjadi benda-benda yang tidak hanya bernilai pakai, tetapi juga bernilai estetis. 










Comments

Popular posts from this blog

(Karena) Lelaki itu Tukang Olah

Jampok

Bansa Teuleubeh +