BUDAYA ACEH : CARA LAIN MENCINTAI RENCONG

Cerita Awal.
Aceh merupakan daerah yang penuh dengan kegemilangan sejarah. Mulai dari sejarah kerajaan Islam yang mendunia pada abad pertengahan hingga perang yang tidak kunjung reda dari akhir abad 20 hingga awal abad 21. Orang Aceh gemar berperang, katanya begitu. Orang Aceh sering mengistilahkan, “prang nyan lagee ta pajoh bulukat” yang artinya perang itu ibarat memakan nasi ketan. Dalam budaya Aceh khususnya makan nasi ketan adalah sebuah kewajiban dan dilakukan secara terus menerus. Dan berhenti jika kenyang saja. Setelah itu makan dan makan lagi. Tidak ada jeda yang terlalu lama. Karena orang Aceh menyukai peperangan tentunya ada alat yang digunakan untuk berperang seperti rencong, pedang, tombak, dan lain sebagainya. Yang menarik cerita adalah penggunanaan rencong sebagai senjata perang dan kini menjadi senjata khas Aceh. Selain itu juga, julukan Aceh ditasbihkan menjadi Tanoh Rincong (dibaca:Tanah Rencong).
Zaman sudah berubah, perang sudah usai sehingga fungsi rencong pun kini berubah. Dulu dipakai sebagai senjata perlawanan, kini dipakai untuk perhiasan, cinderamata, ataupun oleh-oleh tamu-tamu dari luar Aceh. Rencong kehilangan kekuatannya sebagai mesin pembunuh. Ia kini menjadi pajangan diruang-ruang, ataupun paling banter menjadi alat pertunjukan para pecinta debus. Atau yang paling sangar menjadi alat para kriminil dizaman Orde Baru. Seiring dengan keperluannya yang semakin mengecil, produksi rencong pun menjadi sangat khusus. Ya begitulah nasib rencong sekarang.

*****
Keadaan Hari Ini.
Hari ini, kita sebagai milenial, sebagai kaum sangat mencintai kecepatan, mencintai kemudahan, bisa saja tidak lagi tertarik untuk menggali atau mencari tahu hal-hal yang terkait dengan rencong itu sendiri. Dan mungkin saja, lama-lama rencong hanya tinggal nama saja. Sebelum jauh, terkait produksi rencong hari ini sudah sangat langka. Hanya tinggal beberapa saja, dan itupun hanya digeluti oleh kaum tua. Lalu apa tindakan kita sebagai millennial untuk mempertahankan benda warisan budaya Aceh tersebut? Apakah kita akan menunggu sampai waktunya pengrajin rencong itu punah dan hanya bisa kita lihat di museum-museum saja tanpa tahu bagaimana proses pembuatannya?


Gambar 1 : Beberapa Koleksi Rencong Di Museum Islam Pasai (dok.pribadi)
*****
Kisah Pengrajin Rencong
Terkait fenomena ini, beberapa hari yang lalu bersama beberapa rekan, saya mengunjungi salah satu pengrajin rencong di Aceh Utara. Namanya Tgk Ishak atau biasanya dipanggil dengan nama utoh Seuhak. Utoh Seuhak adalah pengrajin rencong dari desa Meunasah Blang, kecamatan Tanah Pasir, Aceh Utara. Beliau memulai usaha penempahan rencong pada awal tahun 1980an dan hingga sekarang masih menggeluti pekerjaan tersebut. Menurutnya, keahlian yang ia dapatkan diwariskan secara turun-temurun dari kakeknya. Dan hari ini, ia menjadi keturunan ketiga yang menjadi pengrajin rencong tersebut. Saat itu ada tiga orang yang menjadi pengrajin rencong didaerah tersebut. Seiring berjalannya waktu, sekarang hanya tinggal beliau saja yang masih berusaha melestarikan tradisi pelestarian pembuatan rencong khas Aceh. Lebih lanjut lagi, beliau tidak memiliki pewaris yang bisa diharapkan secara penuh. Karena anaknya tidak terlalu menyukai pekerjaan tersebut. Bisa saja karena ini adalah pekerjaan yang old. Namun boleh jadi anak-anaknya memiliki alasan lain untuk tidak menekuni dan mewariskan pekerjaan orangtuanya ini.
Tgk. Ishak, pengrajin rencong terakhir di Aceh Utara

Proses pembuatan rencong oleh Tgk. Ishak (dok. pribadi)

*****
Sikap Kita Millenial
Berdasarkan cerita tersebut, sangat miris rasannya pengrajin rencong khas Aceh ini hanya tinggal seorang lagi diwilayah Aceh Utara, dan hari ini pengarajin tersebut sudah sangat uzur yaitu sekitar 67 tahun. Jika keahlian ini tidak ada yang mewarisis, maka cerita kerajinan rembuatan rencong akan tinggal kenangan. Oleh karena itu, menurut saya ada sikap yang harus kita ambil untuk melestarikan kerajinan rencong ini.
Adapun sikap atau langkah pertama yang kita harus ambil adalah mendokumentasikan tata cara pembuatan rencong tersebut dengan visual. Karena jika divisualkan akan lebih mudah untuk diduplikasi oleh pegiatn selanjutnya. Mengapa demikian? Kita sekarang hidup dizaman Youtube. Anak muda tidak mau berlelah-lelah mempelajari langsung ke tempatnya. Cukup dengan sekali klik, nonton. Apakah ini cukup? Sebenarnya ini tidak terlalu cukup, tapi untuk permulaan bisa dikatakan sangat memadai.
Langkah kedua yang bisa kita ambil adalah dengan memberdayakan anak-anak muda untuk berkecimpung langsung dalam proses pembuatan rencong tersebut. Ini akan membutuhkan banyak waktu, namun harus dikemas dengan cara yang sangat menarik sesuai dengan zaman now. Misalnya membuat workshop (bengkel) pembuatan rencong sedemikian rupa dan seasick mungkin. Saya rasa ini sangat memungkinkan karena bakal banyak yang akan mendukung konsep futuristik ini.

Langkah ketiga adalah membeli rencong tersebut dengan harag yang tinggi. Kita tidak membeli barangnya tapi nilai dari barang tersebut. Memang, harga rencong asli sekarang dianggap mahal, namun jika suatu hari nanti, pengarajin rencong tidak ada lagi, dan kita butuh rencong, kita akan membayar berapapun harganya, tapi itu tidak berguna lagi. Karena sudah tidak ada lagi pengrajin. Maka mulai dari sekarang, kita harus mau menghargai nilai yang ada dalam rencong tersebut dengan membeli rencong Aceh.
Langkah terakhir adalah ikut aktif berpartisipasi membangunkan pemerintah untuk menyikapi keadaan dimana kita sudah krisis pembuat rencong. Disatu sisi, ini juga merupakan tanggungjawab pemerintah untuk memberdayakan para pengrajin ini.
*****
Penutup
Rencong adalah warisan berbentuk benda yang wajib kita jaga dan kita lestarikan. Jika bukan kita hari ini yang membuat rencong kembali bernilai, siapa lagi? Tidak mungkin orang lain yang akan mempromosikan rencong untuk kelestariannya. Itu tidak bakal mungkin. Rencong adalah budaya kita, jadi ini tanggungawab kita, generasi milenial, penyuka sesuatu yang instan dan iconic.


Comments

Popular posts from this blog

(Karena) Lelaki itu Tukang Olah

Jampok

Bansa Teuleubeh +