Siapa Mereka ?

Teman, apa kabarmu hari ini. Aku sudah lama tak bersua di beranda ini. Mungkin aku lupa bertegur dengan tuts keyboard laptop mungilku. Aku merasa jenuh. Merasa susah untuk memulai apa yang sudah ku tinggalkan. Tidak begitu lama. Namun tetap susah untuk dimulai lagi. Seperti skripsi, kalau sudah di tinggalkan, ya selamat tinggal. Wisuda juga hanya tinggal hafalan kata di bibir mahasiswa. Namun bukan itu yang menjadi khabaranku untuk soalan kini.
            Aku tidak berbicara tentang skripsi apalagi wisuda. Apa karena aku sudah wisuda ? Tentu bukan. Aku sedang akan wisuda sehingga lekas menjadi sarjana. Aku hendak berbagi khabaran tentang siapa mereka yang menjadi sandaran kita. Siapa mereka yang menjadi penasehat pribadi di dalam dada. Kita tentunya sudah sangat berumur untuk menelaah soalan ini. Kita mungkin sudah banyak melalu asam pahitnya memelihara rasa.
            Teringat ucapan spontan teman seperjabatanku tentang  ceritanya semasa SMA. Ketika merajut cinta ayam (kalau tidak mau di bilang cinta monyet) yang lekas pergi tanpa ingin kembali. Begini narasi ucapanya, “Kita selalu mempercayai pacar, atau gebetan untuk hal-hal pribadi kita.” “Mengapa harus mereka?”
            Tentang pendapatnya, aku sedikit pun tidak akan menampiknya. Aku hanya tertegun dengan realita yang ada. Sudah sangat mengkristal, kalau tidak mau di bilang berbekas. Karena kenyataannya kita selalu punya sandaran (perempuan) ketika kita merasakan penat dunia secara massal. Aku juga tidak menampik mengapa harus selalu perempuan yang menjadi bantal. Mereka (perempuan) itu bukan saudara kita, bukan adik kita apalagi ibu kita. Mereka bukan sesiapa kita. Mereka bisa saja hanya beberapa minggu, atau bulan saja baru mengenal kita kita. Syukur-syukur kalau sudah agak sedikit lama (dalam hitungan tahun tentunya). Tapi mengapa kita secara sukarela menjadikan mereka sebagai sandaran jiwa. Mengapa secara sadar dan waras kita menyodorkan naskah masalah di telinga mereka. Meminta solusi atas ketidaksanggupan rasa. 
            Kembali ku memutar sedikit memori lama dan lantas aku berkata, “Mereka (perempuan) itu bukan sesiapa kita. Mereka hanya orang baru yang tidak sengaja masuk dalam wilayah rasa kita. Mereka juga bukan juru selamat yang akan meminimalisir kenistaan kita. Mereka juga bukan bulan purnama yang bisa beri bahagia.” Kurasa itulah kata yang harus ku uraikan tentang keberadaan mereka. Apakah ini salah? Aku berpendapat bahwa tidak ada yang perlu dipersalahkan. Tidak perlu diperdebatkan, apalagi harus menjadi panggung perdakwaan. 


            Realita ini memang akan sangat rumit apabila dirasa dengan peka. Atau inikah yang dimaknakan dengan rasa percaya dan cinta. Ah. Aku juga lagi-lagi harus bertanya, “Siapa mereka?” 

Comments

Popular posts from this blog

(Karena) Lelaki itu Tukang Olah

Jampok

Bansa Teuleubeh +