Gadis Berparas Hindi Part II

Image Source : laura.moncur.org
Hari ini aku bertandang ke sekolah tempat Sarah mengajar. Niatku sudah terbersit sejak dua hari yang lalu setelah kepulanganku dari Thailand. Tujuanku adalah untuk mengunjungi murid-murid yang dulu pernah sekali waktu aku ajari. Seingatku mereka sekarang sudah menginjak kelas akhir studinya. Aku sangat rindu terhadap mereka. Terhadap suasana kelas yang selalu ramai dengan celoteh tawa, senda gurau anak-anak remaja pada umumnya.
Dari penglihatanku, tidak banyak yang berubah. Hanya saja beberapa kelas sudah bertambah. Ada juga beberapa property ruangan kelas yang sudah diperbaharui. Ini pasti ada bantuan dana dari pemerintah, pikirku. Terlihat juga lapangan upacaranya yang sudah dibalut dengan batako sepenuhnya. Tiang bendera yang berdiri tegak di tengah-tengah juga sudah diganti. Sekarang sudah lebih tinggi beberapa sentimeter ketimbang tiga tahun yang lalu.
            Aku masih berkeliling, mencari-cari kelas muridku dua tahun yang lalu. belum juga kudapati wajah-wajah mereka. Hingga aku bertemu dengan Zahra, guru matematika. Kebetulan, Sarah juga dekat dengan Zahra setahuku.
“Kapan datang, Bang?”, dia menyapaku. Kerap kali dia menyapaku dengan sapaan “Bang”. Tidak ada panggilan Pak. Biar kelihatan dekat katanya waktu itu. “Barusan saja”,kataku. “Kenapa gak bilang-bilang, Bang?”, sambil menarik tanganku dan menyalami ku dengan gaya khasnya. “Mari Zahra bawa langsung ke ruangan. Di sana banyak guru-guru yang selalu menanyakan kabar abang. Pasti ini jadi kejutan besar buat mereka”, selorohnya sambil tertawa. Aku tahu persis apa yang dikatakan Zahra. Mereka pasti merindui ku karena saat itu aku pergi tanpa pamit. Setelah malam itu, malam Sarah memperkenalkan calon suaminya, aku tidak lagi menampakkan wajahku ke sekolah ini.
            Sesampai aku di ruangan dewan guru, mereka menyambutku. Aku sempat terharu.
            “Welcome home, Rahman. Kenapa pergi gak bilang-bilang, Nak?, suara Buk Nurma yang khas berjiwa keibuan. Setiap guru muda yang mengajar disekolah ini, pasti di beri sebutan Nak. Tak terkecuali aku.
            “Maaf, Buk. saya pergi mendadak,” jawabku dengan perasaaan bersalah.
            Didalam ruangan tersebut aku melepas rindu dengan beberapa rekan yang dulu juga pernah membantu ketika aku mengajar disini. Selain Zahra, Sarah dan Ibu Nurma, ada juga Dek Azis, Pak reza, juga Pak Fahmi. Disela-sela melepas rindu, aku berusaha mencuri pandangan ke salah saatu meja. Meja yang dulu dipakai oleh Sarah di ruangan ini. meja yang terletak di sudut ruangan ini. meja itu sudah tidak lagi dipunyai oleh Sarah. Meja itu kini diberikan kepada orang lain. Terlihat di meja itu ada seorang guru muda. Aku juga tidak mengenalnya. Mungkin nanti ku tanyai Zahra perihal itu. Kini yang terpenting adalah melepas kangen dan berbagi cerita dengan sekolah dan kolega lamaku walau hanya untuk sesaat saja.
            ****
            Setelah hampir satu jam aku berbagi cerita diruamgan guru, aku kemudian keluar dengan Zahra. Tepatnya Ibu Zahra, guru matematika rupawan berimbang dengan sikap sadisnya dihadapan murid-muridnya. “Ini kan pelajarannya susah, jadi harus dikerasin anak-anaknya biar kerasan dalam belajar”, begitu katanya sekali waktu. Di beberapa sisi, aku sependapat dengannya.
            Sekarang Zahra mengajakku keliling beberapa kelas, juga kelas yang aku pernah mengajar dulu. Kebetulan hari ini, Zahra mengajar dikelas itu. Dari ajuh aku melihat anak-anak yang sudah memanggil-manggil namaku. “Bapak. Bapak. Masuk ke kelas kami.” Sambil tersenyum, aku melambaikan tangan dan mengangguk sebagai isyarat aku akan menemui mereka. Aku sangat memahami keadaan mereka, apalagi sekarang sudah beranjak dewasa. Pasti sudah lumrah apabila ada perasaan-perasaan aneh dihati mereka dikala melihat guru lelaki yang dibarengi dengan sifat care. Mungkin begitu perasaan mereka.
            ****
            Zahra dan aku sudah memasuki ruangan. Anak-anak semuanya terdiam dengan tiba-tiba. Mungkin karena melihat wajah sadinya Zahra. Kemudian Zahra memberi waktu untukku sejenak untuk melepas kangen dengan mereka. “Hari ini Bapak Rahman datang menemui kalian. Kalian pasti kangen kan dengan beliau? Kalian punya waktu 20 menit untuk melepas rindu dengan beliau. Cukupkan?” lalu Zahra mempersilahkanku untuk mengobrol dengan mereka. Aku pun mengambil alih ruangan sementara. Sambil menunggu di luar, Zahra menunggu diluar sambil mengutak-atik buku pelajarannya.
            “Apa kabar semua? Semuanya sudah besar ya sekarang? Sudah pada punya pacar belum? Ataupun ada yang sudah mau nikah setelah tamat nanti?”, aku berseloroh. Sudah menjadi kebiasaan, setiap sebelum memulai pelajran, dulu, aku sering memberi joke-joke ringan dalam setiap kelas. Itu senjata andalanku supaya tidak merasa canggung dalam mengajar.
            Dari cerita mereka, aku menangkap ada keinginan beberapa dari mereka untuk kuliah di luar daerah. Ada juga yang sudah memasang target untuk lulus di jurusan dengan grade yang tinggi, tentunya menjadi favorit setiap calon mahasiswa. Ada juga yang tidak ingin lagi kuliah, tapi ingin berwirausaha.
            “Saya ingin buka toko florist, Pak! Kan untungnya lumayan. Apalagi nanti mereka yang kuliah, pasti akan memesan papan bunga sama saya”, jelas Joni, yang nama aslinya Juniar.
“Kami mau pesan, asal gratis”, tukas Melda. “Maunya gratisan aja si Melda,”balas Joni lagi. Dan seluruh murid lainnya menyoraki Melda. Sambil melirik jam, aku pun langsung mengambil alih pembicaraan, supaya tidak berlanjut lagi. Inilah momen yang paling membuatku bahagia ketika ada anak-anak yang ngotot terhadap keinginan mereka. Dua puluh menit sudah berlalu. Sebelum ku sudahi pertemuankku dengan muridku ini, aku member sedikit nasehat.
            “Anak-anak sekalian, kita hanya hidup untuk sekali didunia ini. jadi hiduplah dengan keinginan kalian. Keinginan yang bisa membuat kalian bahagia tapi dengan satu syarat, keinginan itu tidak menyalahi aturan agama juga Negara. Ketika kalian sudah tamat nanti, Pergilah ke beberapa tempat yang jauh supaya kalian tahu kalau dunia itu luas. Ambillah I’tibar dibalik perjalanan kalian, karena itu pelajaran yang paling berharga. Terima kasih untuk hari ini, Salam’alaikum.”
            Aku pun langsung keluar. Ada keharuan yang ku temui ketika aku mengakhiri nasehatku. Betapa tidak, dahulu ketika aku sekolah, hampir tidak ada guruku yang memberi nasehat demikian. Tapi aku tidak mempermasalahkan itu. Terkadang kita harus mencari sesuatu tanpa haru menunggu perintah. Kemudian Zahra mengambil alih kelas untuk melanjutkan proses belajar mengajar seperti biasa.
            ***
            Setalah menunggu beberapa lama, sekolah pun usai. Aku yang masih menunggu Zahra, berniat untuk mengajaknya makan siang bersama. Aku pikir ini adalah saat yang tepat untuk menyelidik perihal Sarah yang sudah lama tak terdengar. Aku masih penasaran tentang gadis India pujaanku itu. Aku ingin tahu apakah dia sudah benar-benar punya keluarga seperti desas desus yang ku dengar ketika aku masih di Phuket dulu.
            “Kita makan dulu ya, Dek Zahra. Aku yang traktir kamu. Sekalian untuk ucapan terima kasih untuk hari ini. kamu kan suka yang gratisan,” aku mengajaknya sambil tersenyum.”Sip, Bang. Itu bukan gratisan namanya Bang, tapi tidak menolak perberian orang. Apalagi masalah makanan”, ujarnya mengelak. “Okelah, kita makan di tempat biasa”, ucapku. Lalu kami bergegas menuju sebuah warung serba ada. Tempat kami sering makan siang ketika hendak Sarah dulu.
            ****
            Setelah menempuh perjalanan selama sepuluh menit, sampailah kami ke tempat mengisi perut paling enak disini. Selain makanannya enak, harganya juga murah. Makanya aku berani mentraktir Zahra kali ini. Pasti gak kan kebayang berapa uang yang akan habis untuk mentraktir seorang ibu guru yang wajahnya rupawan sadis, tapi untuk urusan perut tidak pernah bisa ditahan. Memang sudah sepantasnya ia menjadi seorang guru, ketimbang jadi anggota DPR. “Kita harus menikmati hidup ini selagi sempat”, katanya suatu waktu.
            Zahra dan aku langsung memesan. Tak berapa lama, makanannya pun terhidang di hadapan kami. Satu kebiasaan yang tidak pernah hilang adalah saling berebut kerupuk dan juga sambal pedas khas warung ini. Dan lagi-lagi aku harus kembali mengalah dengan Zahra. “Okelah. Abang lagi yang harus mengalah”, kataku. “Gitu dong, Bang,”jawabnya tanpa rasa bersalah. Kami pun larut dalam perjamuan ini.
            ****
            “Ngomong-ngomong, kenapa abang menghilang dulu. Udah gak ada kabar waktu pergi, nih nomor ponsel pun gak aktif?”, Zahra mulai membuka pertanyaan yang serius. Aku yang ketika dihadapkan dengan pertanyaan itu mulai gagap dalam menjawab. Aku mulai mencari-cari alasan.
            “Sebenarnya ketika itu aku mau kasih tawu kalian. Ingat kan waktu kita ngumpul dulu, ketika Zahra memperkenalkan calonnya? Tapi aku rasa momen itu sudah tidak tepat lagi. Aku gak mau momen kebahagian Sarah terganggu dengan berita kepindahanku, Ra.”
            “Kamu juga tahu kan kalau aku menaruh sedikit harapan ke Sarah kala itu. Aku memang berniat untuk memberitahukannya, tapi aku urungkan juga.”
            “Kenapa, Bang? Kan bisa aja Abang kasih tahu aku, terus aku kasih tahu ke guru-guru di sekolah. Memangnya abang menghilang kemana sih?”
            “Awalnya memang ada niatku untuk memberi kabar padamu, tapi ya sudahlah. Aku sudah terlalu hilang akal kala itu. Aku langsung berangkat. Aku merantau ke Phuket, kota pariwisata di Thailand. Sebenarnya bukan urusan kantor. Aku mengundurkan diri dari kantor dan hijrah ke sana.”
            “Asyik sekali hidupmu, Bang. Lalu kamu kerja apa disana, Bang? Jadi bartender ya? Pasti banyak uang? Ini bukan uang haram kan, Bang?”
            “Enak gak enak. Tapi apa boleh buat. Rencana awalnya sih untuk menenangkan diri. Lari dari bayang-bayang Sarah. Lama kelamaan kan gak mungkin juga aku hidup tanpa makan. Sesuai kemampuanku, aku berdagang. Sesekali  jadi pembantu supir untuk wisatawan. Selain lebih tenang, gajinya juga lumayan. Gimana menurutmu, gajiku halal kan, Ra?”
            “Halal kok, Bang. Walaupun pun gak halal, kan bukan aku yang tanggungjawab, Bang.
Heheh. Jadi sekarang kenapa kamu pulang, Bang?”
             “Ya untuk menjenguknya sekaligus untuk memberi selamat padanya. Juga untuk melihat anak-anaknya. Menurut yang kudengar, dia sudah punya anak dua. Mirip dengan Sarah juga.”
            Mendengar penjelasanku, Sarah bukannya iba, malah dia tersedak sambil menahan tawa.
            “Kenapa kamu, Ra? Salah ya apa yang ku ceritakan?”, tanyaku.
            “Abang. Abang.”
            “Waktu itu setelah beberapa hari abang pergi, keluarga dari calon suaminya Sarah memutuskan untuk pindah juga keluar daerah. Tepatnya ke Surabaya. Karena alasan kepindahan keluarga calon suaminya itu, keluarga Sarah tidak memberi restu kepada Sarah untuk nikah. Kamu tahu kan bagaimana patuhnya Sarah terhadap orangtuanya. Jadi sejak saat itu, hubungan mereka putus begitu saja.”
            “Setelah hubungannya yang tak bertaut, Sarah memutuskan untuk pindah ke sebuah kota pinggiran. Disana dia masih mengajar seperti biasa. Selain mengajar di sekolah, setiap sore dia juga mengajari anak-anak di TPA tempat dia tinggal sekarang.”
            “Jadi dia belum punya anak, Ra?”
            “Bagaimana mau punya anak, suami aja belum terlihat. Aduh Abang. Intinya untuk dua bulan terakhir, dia masih sendiri. Sekarang gak tawu deh. Mungkin sudah ada,” jelasnya sambil tertawa mengejekku.
            “Jangan berdoa yang bukan-bukan, Ra. Kasihan sedikit sama abangmu ini lah, Ra.” Sambil memelas.
            “Iya. Iya. Jangan putus asa begitu, Bang. Tetap semangat, ya! Tapi jangan lupa bayar makananku ya, Bang.”
            ****
            Mendengar kabar baik dari Zahra membuat semangatku kembali ke puncaknya. Tidak sia-sia aku pulang kali ini. selain bertemu dengan guru di sekolah, juga Zahra, ada berita lain yang tak kalah bagusnya. Sarah masih sendiri dan masih bergelut dengan dunia mengajarnya. Rasanya itu seperti berada dikapal yang menabrak gelombang kala aku mengantar wisatawan menuju Phi Phi Don. Ngeri-ngeri sedap. Pastinya aku sangat bersyukur. Semoga kepulanganku kali ini bisa membawa asa cinta ku menuju mahligai rumah tangga bersama gadis India ku, Sarah.
            Dalam hatiku berkata, haruskah aku menyanyikan lagi kuch kuch hota hai kali ini. Atau pun lagu Kabhi Alvida na kehna, ataupun bisa jadi lagu jab tak hai jaan. Entahlah. Pokoknya aku ingin sekali menatap wajah India nya Sarah kali ini. Semoga besok aku siap untuk menemuainya. Semoga.
            ****
            “Yuk pulang. Sudah sore. Nanti kalau kemalaman, Abang harus taktrir kamu lagi, Ra.”
            “Jom lah Bang, aku juga masih banyak kerjaan. Maklum urusan sekolah. Anak-anak sedang mau UN”.
            “Terima kasih banyak ya, Ra untuk hari ini.”    

             

Comments

Popular posts from this blog

(Karena) Lelaki itu Tukang Olah

Jampok

Bansa Teuleubeh +