Gadis Berparas Hindi Part III
Sehari
setelah aku berkumpul di café bersama Sarah cs, aku memutuskan untuk pergi dari
kehidupannya Sarah. Pekerjaan dikantor yang sedang sangat banyak pun tak ku
peduli lagi. Surat pengunduran diri sudah ku siapkan untuk kuserahkan pada
pimpinan hari ini. aku benar-benar kalap. Menurutku, ini adalah buah
pengorbanan yang harus ku terima. Dengan guru-guru di sekolah Sarah pun tak
perlu pamit pikirku. Mereka kan hanya teman biasa, yang baru bertemu sebentar.
Jadi aku urung pamitan pada mereka.
***
Tidak
banyak yang bisa dibuat oleh pimpinan perusahaanku perihal pengunduran diriku.
Tentunya aku tidak merinci mengapa aku mengundurkan diri. Hanya ku sebutkan
untuk urusan pribadi semata. Dia mengijinkanku pergi dengan sedikit pesangon.
Karena saat iti pun perusahaan sedikit goyang karena krisis ekonomi kala itu.
Aku
juga memaklumi keadaa itu. Aku bersyukur bisa keluar dari perusahaan itu. Aku
tidak mau urusan pribadi mengganggu kepentingan perusahaanku. Aku tidak mau itu terjadi. Setelah keluar dari kantor,
aku belum memutuskan untuk pergi kemana. Ada yang mengajakku hijrah ke Jakarta,
Sulawesi juga Papua. Aku masih belum berminat untuk hijrah ke sana. Jakarta,
bagi aku adalah simbol permusuhan terbesar bagi sejarahku. Betapa tidak, akibat
kebijakan politik yang mereka lakukan, ribuan masyarakat Aceh melarat
karenanya. Jakarta adalah musuh sejati, ditambah lagi kota Jakarta adalah
ibukota. Tentu tidak asing lagi, frasa ibukota lebih kejam dari ibu tiri sering
kita dengar. Atas dasar itulah, aku menahan niat untuk ke sana.
***
Sudah
dua minggu aku menyandang profesi jobless
and loveless. Profesi yang sangat lumrah kita jumpai dewasa ini. tidak
perlu ijazah, apalagi relasi ke kolong meja pejabat. Sungguh mubazir rasanya
jika hanya untuk mendapatkan profesi jobless and loveless harus berhubungan
dengan orang-orang besar digedung tinggi.
Ya,
kini aku mulai berfikir untuk memutuskan kemana aku harus bergerak. Lalu aku
berniat untuk menjumpai beberapa teman lamaku. Ada Hakim, Samsul, dan Riski.
Tiga sekawan yang sudah sangat ku kenal perangainya luar dalam. ada yang baik,
ada yang keras, juga ada yang sedikit irit. Karena mereka amsing-masing
memiliki sikap yang pamungkas, maka mereka sangat dikenal sebagai satu kesatuan
yang kokoh. Mereka memang punya sifat yang berbeda-beda, tapi satu hal yang
sama dari mereka adalah tidak sombong. Maka dari itu, aku beranikan diri untuk
meminta nasehat dari mereka untuk keluar dari profesi ku sekarang.
****
Akhirnya
aku memutuskan untuk hijrah ke Malaysia. Selain biaya hidupnya yang terjangkau,
juga banyak masyarakat Indonesia yang merantau ke sana. Paling tidak ada tempat
untuk mengemis makan. Pun begitu, sanak saudaraku juga banyak yang menyebrang
ke sana, bahkan ada yang sudah menjadi warga negara Malaysia. Tentu ini menjadi
nilai tambah lainnya untuk keputusan hijrahku.
Semua
keperluan sudah ku persiapkan. Mulai dari pakaian hingga dokumen-dokumen
perjalanan. Dokumen yang ku bawa hanya paspor yang tanpa visa. Aku berniat
untuk memakai visa turis saja kalau aku bekerja di sana nantinya. Dua puluh
hari ku kira cukup untuk bekerja lalu keluar ke Negara tetangga untuk
mendapatkan perpanjangan visa kembali sebagai turis. Ku rasa tidak ada kendala
yang berarti untuk memasuki Negara Malaysia ini.
***
Hari
ini minggu, tepat lima hari lagi sebelum keberangkatanku. aku merasa ada yang
mengganjal dihatiku. Mungkin karena akan meninggalkan kampung halaman tercinta.
Tapi sebenarnya bukan sebuah alasan bagiku. Karena sudah hampir sepuluh tahun
hidup di tanah perantauan, tanpa seorang pun kecuali orang-orang baru yang
beruba menjadi keluarga. Mungkin karena Sarah, gadis Indiaku. Kalau ia hendak
mengirim undangan resepsinya, dia takkan tahu kemana akan mengirimkannya.
Walaupun nantinya aku juga tidak akan datang untuk menutupi kesedihanku. Mungkin
itulah yang mengganjal hatiku saat ini.
Karena
hatiku masih tidak karuan, aku memutuskan untuk menemui Difa, seorang teman
lama yang tidak sengaja berjumpa di bandara tiga tahun lalu. Kami berjumpa
secara tidak sengaja, hanya gara-gara memegang tiket pesawat yang tempat duduknya
bersebelahan. Setelah bercerita panjang lebar, akhirnya aku tahu kalau dia juga
tamatan salah satu universitas ternama di Pulau Sumatera.
“Insya
Allah, tahun depan Difa akan lulus. Lulus magister
bidang pendidikan,”ujarnya kala itu. Aku hanya tersenyum saja. “Jurusan apa?”
tanyaku memperjelas. “Jurusan Pendidikan, tepatnya bahasa”, jawabnya singkat.
Sambil menggerak-gerakkan kepala aku lagi-lagi hanya bisa tersenyum. Aku yakin
dia akan menjadi salah satu ahli pendidikan yang hebat. Dengan melihat talenta
dan juga semangat yang sedemikian rupa, tidak menutup kemungkinan karirnya akan
cepat menanjak walau tanpa bantuan siapa pun.
Setelah
pertemuan itu, aku sempat berkomunikasi dan bercerita tentang banyak hal.
Termasuk masalah kantor juga tentang kehidupan pribadiku. Selain bisa menjadi
pendemgar yang baik, juga memiliki sejuta solusi terbaik pula. Namun beberapa
waktu terakhir, karena alasan kesibukan masing-masing, komunikasi kami
terputus.
Niatanku
untuk menemui Difa bukan karena apa-apa, hanya saja ingin melepas rindu juga
ingin bercerita panjang lebar terhadap masalahku sekarang. Karena dalam
pemahamanku, orang-orang yang menggeluti bidang ilmu pendidikan lebih ,
mengerti tentang hal yang sedang ku alami sekarang. Semoga nantinya, Difa bisa
memberi solusi terbaik untukku.
****
Setelah
dua puluh menit menyusuri jalan berdebu, kahirnya tiba dirumah Difa. Difa yang
juga seorang perantau sejati hanya tinggal berdua dengan adiknya di rumah.
Karena hari ini hari minggu, dia pasti tidak kemana-mana.
“Assalamu’alaikum,”
aku memberi salam. “Wa’alaikumussalam, sebentar. Siapa ya?” “Rahman. Teman yang
jumpa di bandara dua tahun yang lalu.” “Oke, sebentar, Bang.”
Tak berapa lama kemudian dia keluar. Aku pun
menyalaminya dengan memberi selamat, “Congratulations,
Master of Education.” “Iya terima kasih, Bang. Duduk aja dulu.”
Kamipun terlarut dalam perbincangan yang
seakan tidak ada batas. Mulai dari kami memutar ulang ingatan ke bandara hingga
berjumpa lagi didalam pesawat. Dan juga beberapa celoteh garing ku yang juga
bisa membuat Difa tertawa. Padahal candaanku memang sangat garing. Sambil
menyodorkan minuman jus buatannya, Difa mulai menanyakan hal-hal yang serius.
Sedikit berbau konspirasi tentang masa depan.
“Kerja
dimana sekarang, Bang?” tanyanya. “Sudah jobless
and loveless. Baru dua minggu yang lalu. awalnya aku bekerja sebagai salah
satu karyawan di perusahaan swasta. Sudah hampir dua tahun disana.
Pendapatannya juga banyak.” “Wah, hebat benar kamu, Bang. Sekarang kenapa
pengangguran Bang? Dipecat?” tanyanya lagi. “Aku tidak dipecat, aku
mengundurkan diri. Hari jum’at ini mau terbang ke luar negeri,” jelasku. “Let me guess, sepertinya ini ada masalah
besar,” Difa mencoba menebak. “Masalah kantor? Masalah keluarga? Atau bisa jadi
masalah cinta? Masalah yang mana ini? Biar kita selesaikan sama-sama,” Difa
melanjutkan pertanyaan dengan semangat menggebu-gebu.
Kali
ini aku harus memberanikan diri untuk bercerita dengan sejujurnya tetntang
masalah yang sedang ku hadapi ini. “jadi begini, beberapa bulan yang lalu,
tanpa sengaja, aku berkenalan dengan seorang gadis. Namanya Sarah. Profesinya
sebagai pengajar salah satu sekolah menengah atas di Banda Aceh. Setelah
beberapa bulan, aku sudah terlihat akrab dengannya. Kamu juga sudah pasti
mengerti, bagaiamana tentang kedekatan yang ku maksud, Dek,”jelasku.
“Terus bagaimana? Kamu ditolak?,”Difa bertanya sambil
tersenyum sedikit mengejekku.
“Bukan
ditolak, Difa. Tapi tertolak. Karena dia sudah punya pujaan hatinya sendiri.
Dan dia pun akan melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat ini.”
“Wah, keren. Langsung menikah, tanpa pacaran. Salut
aku. Bang.”
“Kamu boleh salut kalau aku yang menjadi calonnya
Sarah, Difa. Nah sekarang, posisiku entah dimana.”
“Oke, oke. Tapi kenapa harus dia yang kamu
perjuangkan, Bang? Bukankah setiap perempuan yang dekat denganmu pasti akan
lengket? Seperti yang kamu ceritakan ketika di bandara dulu.”
“Ini kasusnya berbeda, Kawan. Sangat – sangat
bertolak belakang dengan keseharianku yang easy
going ditambah lagi urakan. Si Sarah ini, selain sebagai seorang guru
di sekolah, juga bekerja sebagai pengajar pesantren. Dan yang lebih penting,
sifat ke-ibu-annya itu lho. Karena menurutku, setiap perempuan yang memiliki
sifat keibuan yang lebih, ia akan mudah beradaptasi dengan segala kehidupan.
Dia akan mengerti setiap keadaan kita, juga keadaan orang di sekitarnya.
Termasuk anak-anak dan mertuanya nanti”
“Tumben kamu punya selera tinggi kali ini, Bang?”
tukasnya.
“Pasti ustazahmu itu sangat cantik ya?”, lanjutnya.
“Cantik wajah dibawah rata-rata, tapi hatinya itu
yang membuat aku luluh,” ujarku.
“Aku mengundurkan diri dari kantor dan ingin pergi
keluar negeri pun karena alasan ini. karena kau tidak mau merusak kebahagian
Sarah. Karena bagiku kebahagian Sarah adalah segalanya. Biarlah aku yang
menyingkir dari hidupnya,” lanjutku.
“Ya sudahlah, kalau itu keputusanmu. Aku Cuma bisa
berdo’a agar kamu bisa mendapatkan perempuan yang lebih baik lagi di
perantauanmu kali ini. ngomong-ngomong kemana tujuanmu? Arab, Eropa atau
Amerika, Bang?” tanyanya.
“Aku Cuma berniat menyebrang ke semenanjung melayu,
Malaysia. Alih – alih untuk menenangkan diri.”
“Ah, Cuma ke Malaysia. Tapi di Malaysia, budak-budak
melayu beautiful lho. Bahkan ada yang
bercadar-cadar gitu. Kan cocok tuh buatmu, Bang. Hahahha.”
“Semoga saja begitu, Difa”, jawabku sambil menyeka
keringat diwajahku.
Perbincangan
kami pun terputus setelah Difa menerima telepon dari kantornya untuk sebuah
rapat penting, katanya. Aku pun pamit pulang. Dia pun mengantarku sampai ujung
pintu. Sesampai di ujung pintu, dia berpesan untuk selalu berdo’a agar
dipermudah untuk segala urusan dunia akhirat. Karena Allah akan mendengar
setiap keluh kesah hamba-Nya. Sambil melambaikan tangan, aku pun memundurkan
mobil dengan hati-hati.
“Hari
sabtu ini jangan lupa antarkan aku ke bandara ya, Difa.”
“Oke,
Sip, Bang. Nanti kabari lagi ya,” ujarnya.
Aku pun pulang dengan sedikit tenang. Setidaknya aku
memahami,keputusanku untuk pergi saat ini adalah keputusan terbaik. Tapi
keputusan yang ku buat ini bisa saja berubah tergantung pada keadaan kedepan.
Kita tidak pernah tahu bagaimana hari esok.
Comments
Post a Comment