Napak Tilas ke Museum Aceh dan Makam Iskandar Muda
Tepat pada tanggal 21 November 2015, saya dan
teman-teman melakukan tugas kunjungan lapangan yaitu ke museum Aceh. Kunjungan
ini sudah direncanakan sejak tiga hari sebelumnya, yaitu pada hari rabu tanggal
18 November 2015. Pada saat berdiskusi tentang waktu kunjungan banyak yang
memberi pendapat masing-masing hingga pada akhirnya di pastikan kunjungan dilaksanakan
pada hari sabtu tersebut. Kami merencanakan keberangkatan pada pukul 02.00.
sebelum berangkat saya melakukan beberapa persiapan seperti menyiapkan buku
tulis dan pulpen untuk menyiasati hal-hal yang tidak diinginkan.
Tepat
pada pukul 01.00, saya bertanya kabar dati teman-teman yang lain apakah mereka
sudah berangkat atau belum. Rupanya beberapa dari mereka sudah berangkat
duluan. Tinggallah beberapa mahasiswi yang kebetulan pergi bersama dosen
pembimbing. Saya sempat berdikusi kembali dengan beberapa mahasiswi di sana
perihal perlengkapan apa saja yang harus disiapkan sebelum keberangkatan. Saya juga
menanyakan apakah ketika rombongan tiba disana akan dipandu oleh pemandu atau
tidak.
Tepat
pukul 01.40 saya berangkat menuju komplek Museum Aceh. Kebetulan hari itu
sedikit panas. Saya menyempatkan diri untuk kembali ke rumah sesaat walaupun
niat itu tidak berhasil. Setelah itu saya melanjutkan perjalanan menuju Museum
Aceh. Jalanan penuh sesak. Sedikit macet tapi saya menggunakan siasat lama
untuk menghadapi kemacetan yang mulai merambah kota Banda Aceh. Rute yang saya
tempuh melalui beberapa “jalan tikus” yang belum banyak di ketahui khalayak
ramai. Setelah menempuh perjalanan beberapa menit, saya tidak langsung menuju
ke Museum Aceh. Saya menyempatkan diri untuk singgah di mesjid Peuniti yang
berada di depan taman makam pahlawan. Saya shalat disana dan istirahat
sebentar.
Setelah
istirahat sejenak, kemudian saya bersiap untuk melanjutkan perjalanan ke museum
Aceh. Saya menyiapkan tas, lalu memakai sepatu dan kembali mengendarai sepeda
motor menuju Museum Aceh. Dalam perjalanan menuju Museum, saya sedikit
terganggu dengan mobil polisi yang mengawal “orang penting” yang sedang menuju
ke pendopo gubernur yang kebetulan dekat dari museum. Kan tidak mungkin juga
saya mengumpat pada mereka, karena mereka orang penting. Saya menerka-nerka
kalau yang dikawal itu adalah delegasi yang di utus negara untuk menutup Pekan
Olahraga Mahasiswa Nasional (POMNAS) 2015 yang kebetulan hari ini adalah hari
penutupannya. Ya saya yakin begitu, mereka para pembesar negeri yang akan
segera menutup POMNAS 2015 yang segera berakhri dan menempatkan Aceh sebagai
kontingen yang kurang diperhitungkan pada ajang tersebut walaupun selaku tuan
rumah.
Akhirnya
saya tiba di Museum Aceh. Disana masih terlihat sangat lengang. Hampir tidak
ada aktifitas sama sekali, kecuali beberapa teman mahasiswa/I yang sudah lama
menunggu untuk tugas lapangan ini. mereka terlihat berkumpul di depan gedung
Galeri Museum. Ada juga yang bersenda gurau di depan lonceng Cakra Donya. Saya
berinisiatif untu langsung memarkirkan kenderaan di tempat yang sudah
disediakan.
Setelah
itu saya menuju ketempat dimana teman-teman lainnya sedang berkumpul. Sambil
senyum-senyum saya menyapa mereka dengan gaya khas saya. kemudian saya
berbincang-bincang dengan mereka yang sedang memotret lonceng cakra donya. Saya
juga sempat mengabadikan moment betapa lengangnya museum yang isi didalamnya
adalah literature-literature sejarah dan budaya bangsa.
Foto
yang saya abadikan tersebut langsung saya unggah ke media sosial. Saya
mengaitkannya tentang penebangan pohon “Geulumpang” atau yang lebih dikenal
dalam bahasa Belanda sebagai Kohlerboom. Kebetulan
penebangan pohon yang sudah berumur 26 tahun tersebut menimbulkan banyak
polemik dalam masyarakat Banda Aceh khususnya di dunia maya. Banyak dianatar
mereka beranggapan bahwa penebangan pohon tersebut menyebabkan Aceh sudah
kehilangan satu situs sejarah. Ada juga yang berpendapat kita sudah melenyapkan
satu warisan budaya danmasih banyak lagi. Dalam pandangan saya, mereka terlalu
latah dalm menaggapi isu yang berkembang dan dalam keyakinan saya, mereka
kurang referensi dalm berpendapat dan menaggapi isu isu yang terjadi dalam
tatana sosial kemasyarakatan. Kembali ke inti cerita, saya mengunggah oto
tersebut dengan niat mengajak masyarakat untuk mencitai sejarah dengan cara
banyak membaca referensi yang berkaitan, khususnya sejarah kita sendiri.
Mengutip kata-kata Hasan Tiro, “Tusoe
droe, Turie Droe”.
Setelah
menunggu beberapa belas menit, akhirnya kami berkumpul semua di sisi samping
rumah Aceh. Dan tiba-tiba saya terkejut ketika ada perintah untuk memindahkan
kenderaan ke tempat parkir yang lain. Padahal di sana sudah jelas terpampang
disana ada marka huruf P. tapi tidak mengapa lah, mungkin begitu peraturan
“tuan rumah”. Setelah menindahka posisi parkir kenderaan, kami pun berdiskusi
untuk naik ke rumah Aceh. Namun sebelum itu, kami harus mengambil tiket yang
dihargai Rp 2.000 saja. setelah semua mendapatkan tiket masuk, kami pun langsung
melepaskan sepatu dan mengantri untuk naik satu per satu ke dalam Rumoh Aceh.
Tipikal rumah adat Aceh ini adalah para tetamu yang masuk “diharuskan” menunduk
sebelum sampai ke dalam rumah.
Setelah
berhasil masuk ke dalam rumah Aceh, kita akan disuguhkan dengan beberapa
lukisan foto para pejuang tempo dulu seperti Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Teuku
Umar. Selain itu didalam rumah aceh juga terdapat nbagian seperti tempat
musyawarah. Di sana terdapat beberapa “tika duek” yang tersusun rapi persis
seperti tempat yang digunakan untuk musyawarah. Selanjutnya di bagian “rambat”
terdapat dua kamar tidur saja, yaitu satu kamar untuk orangtua dan satunya lagi
untuk anak perempuan. Menurut sejarahnya, dalam rumah aceh hanya terdapat dua
kamar tidur karena untuk anak lelaki yang sudah aqil baligh, mereka tidak lagi
tidur di rumah melainkan di mesjid. Aturan ini mempunyai sedikitnya dua fungsi
yaitu untuk belajar mengaji dan juga menempa mental anak-anak muda Aceh kala
itu untuk mandiri.
Dua
kamar yang terdapat di rumah Aceh ini memiliki desain yang berbeda, kamar
pertama didesain didalamnya terdapat pelaminan supaya masyarakat luas paham
bagaimana pelaminan adat Aceh. Sedangkan kamar yang satu lagi berisi hidangan
untuk pengantin baru. Ini dimaksudkan bagaimana seorang istri melayani suami
secara pribadi karena mungkin masih agak segan apabila makan bersama mertua.
Selain itu pula ruangan ini dihiasi dengan berbagai macam keramik, guci, dan
pedang.
Selanjutnya,
turun sekitar dua anak tangga, kita menuju dapur. Di sana terdapat banyak
perkakas dapur, juga terdapat ayunan untuk menidurkan bayi. Dalam ruangan ini
terdapat bumbu-bumbu dapur yang biasa dipakai oleh masyarakat Aceh tempo dulu.
Dan bahkan masih dipakai hingga sekarang walaupun sudah banyak yang berubah.
Setelah menghabiskan banyak waktu di dalam rumah Aceh ini, saya menyempatkan
diri untuk istirahat sebentar bersama teman-teman. Kami sempat berdiskusi
tentang beberapa hal yang berkaitan dengan rumah Aceh itu sendiri. Karena
kebanyakan di antara kami ada yang belum mengerti banyak tentang rumah aceh itu
sendiri. Ini disebabkan karena banyak diantara kami yang bukan berasal dari
suku Aceh itu sendiri. Diantara kamiada yang berasal dari suku Alas, Kluet,
Gayo, juga Aneuk Jamee. Jadi perbedaan latar belakang kesukuan menyebabkan
minimnya pengetahuan yang ada pada kami. Satu hal yang paling penting dalam keragaman tersebut,
jangan sekali-kali menjadikan perbedaan latar belakang menjadi akar perpecahan
sehingga menyebabkan kehancuran dan tidak harmonisnya sebuah hubungan.
Setelah
berdiskusi selama lebih kurang dua puluh menit, kami bersiap-siap untuk kembali
turun menuju ruang pameran tetap museum yang berada disamping rumoh Aceh yang
diselangi oleh gedung Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA).
Setelah
sampai didalam ruang pamer tetap, saya menyempatkan mengisi buku tamu yang
sudah disediakan. Karena memang prosedurnya begitu. Selanjutnya di pintu masuk
pertama ruang eksebisi kita akan disuguhkan dengan peta provinsi Aceh yang
ditandai dengan warna dan motif tanda yang berbeda. Terdapat 23 kabupaten/kota
berbeda dengan berbagai tanda warna pula. Selanjutnya ita akan melihat beberapa
diaroma yang menyajikan binatang-binanatang yang hiudp dibelantara huta Aceh
seperti tupee, cagee, mueruwa, gajah.
Di hadapan diaroma darat juga disajikan diaroma laut.
Selanjutnya
didalam etalase lainnya juga terdapat baju adat dari berbagai suku yang
mendiami wilayah aceh, seperti baju adat suku Aceh, Aneuk Jamee, Alas, dan
Gayo. Ada juga perkakas perang yang dipakai para serdadu Aceh dan belanda pada
zaman perang dulu. Disana juga terdapat banyak naskah-naskah dan surat-surat
diplomatic dari beberapa negara sahabat pada masa kerajaan Aceh masih berdiri.
Ada juga replica nisan ratu Nahrasiyah di Samudera Pasai. Tidak ketinggalan pula,
beberapa jenis alat music seperti teganing, rapa’I, suling dan beberapa alat
music lainnya.
Dibagian
lantai atas terdapat etalase yang menggambarkan perjalanan kerajaan Aceh dan
peperangan yang dilakoni oleh bangsa Aceh itu sendiri baik sebelum bergabung
dengan Republik Indonesia hingga setelah bergabung dengan Indonesia dan melawan
tentara Republik Indonesia itu sendiri. Di ruangan eksebisi ini juga terdapat
beberapa foto jenderal belanda yang pernah menginjakkan kaki di Aceh. Ada
diantara mereka yang tidak berhasil pulang kembali kenegeranya seperti Kohler.
Menuju
pintu keluar kita akan disuguhkan dengan berbagai macam lukisan bernilai seni
yang sangat tinggi. Menurut kurator museum yang saya temui, lukisan itu dibuat
oleh salah seorang pelukis ternama Rein Asmara yang sudah lama menetap di Aceh
dan keluarganya ketika tsunami melanda Aceh pada tahun 2004 silam banyak yang
meninggal. Diantara lukisan yang menarik perhatian saya adalah lukisan tsunami,
lukisan mesjid raya dan satu lagi, lukisan yang bernuansa Gayo. Dan yang paling
menarik di akhir pintu galeri adalah kata “Aceh” dalam berbagai sebutan seperti
Atjeh, Achim, Achi dan lain sebagainya.
Setelah
selesai berjalan didalam ruang pamer museum Aceh, saya dan teman-teman
menyempatkan diri untuk istirahat sebentar lalu shalat Ashar lalu bersiap-siap
menuju makam sultan Iskandar Muda. Setibanya
di makam Sultan Iskandar Muda, kami berkumpul sejenak. Setelah itu saya
melihat-lihat bentuk relief makam tersebut. Makam tersebut sudah di beton dan
disekeliling makam di beri tulisan kalimat Syahadat. Makam ini tertana dengan
sangat rapi. Di sana juga terdapat beberapa meriam peninggalan zaman perang.
Dalam pekarangan makam tersebut juga terdapat makam lainnya seperti Makam
Kandang Meuh dan makam raja beserta keluarga raja lainnya. Begitulah sedikit cerita napak tilas
saya ke Museum Aceh dan juga makam Iskandar Muda. Semoga bermanfaat.
Comments
Post a Comment