Surat Untukmu Perempuan Yang Tercecer
I
Untuk
kamu perempuan yang tidak pernah bosan-bosan menggangu ketenangan hidupku.
Hidupmu tidak lebih hanya sebagai benalu dalam tubuhku. Kamu selalu menjadi
momok terbesar bagiku. Minggu depan, tepat empat bulan penuh kamu membuatku
kejang-kejang, mati pelan-pelan. Aku tidak tahu apakah kamu sadar perihal
tingkah bangsatmu. Aku benar-benar tidak tahu. Menurut penglihatanku kamu sangat
menikmati peranmu dalam menghancurkanku. Dalihmu selalu ingin disayang seperti
orang lain. Dalihmu meminta keadilan. Eh, malah kamunya yang tidak sadar diri.
Keadilan itu menurut porsinya lho.
Adil itu bukan masalah dua di bagi dua sama dengan satu. Keadilan itu masalah
memantaskan diri untuk di-adil-kan. Ku rasa kamu sangat “gagal paham” tentang
yang aku katakan. Ku jelaskan beribu kali pun kamu tidak sanggup menjangkau.
Karena nafsu bejatmu sudah menutupi nuranimu selaku perempuan dan manusia
merdeka.
Eh
aku lupa sesuatu. Mungkin ini belum pernah ku ceritakan padamu. Mungkin juga
saat kamu duduk di bangku sekolah dasar, kamu sering alpa ketika gurumu
menerangkan soal keadilan ini. tentunya aku dan teman-temanku sering
mendapatkan ilustrasi cerita begini. Dalam sebuah keluarga ada tiga orang anak.
Anak yang pertama duduk di bangku kelas 2 sekolah menengah pertama, anak yang
kedua duduk di bangku kelas enam sekolah dasar, sedang yang terakhir duduk
di kelas satu sekolah dasar. Setiap pagi mereka mendapatkan uang jajan yang
berbeda-beda. Anak pertama mendapatkan jajan lima ribu rupiah, anak kedua
mendapatkan tiga ribu rupiah sedangkan
anak yang terakhir mendapatkan dua ribu rupiah. Apakah perbedaan penerimaan
uang jajan itu dianggap dari suatu ketidakadilan orangtua terhadap anak? Mungkin
logika kamu berpikir tidak demikian.
Keadilan disini bukan masalah nominal uangnya tapi masalah kepantasan dan kelayakan. Bukankah mereka sama-sama lahir dari rahim yang sama? Bukankah mereka sama-sama anak dari orangtua yang sama? Tapi lagi-lagi, disini bukan masalah nominal yang sama, tapi kelayakan menerima nominal itu. Kamu sudah paham sekarang? Ku rasa tidak. Kamu kan selalu memaksa kehendak.
Keadilan disini bukan masalah nominal uangnya tapi masalah kepantasan dan kelayakan. Bukankah mereka sama-sama lahir dari rahim yang sama? Bukankah mereka sama-sama anak dari orangtua yang sama? Tapi lagi-lagi, disini bukan masalah nominal yang sama, tapi kelayakan menerima nominal itu. Kamu sudah paham sekarang? Ku rasa tidak. Kamu kan selalu memaksa kehendak.
Selain
itu aku juga mau mengingatkan kamu juga perihal siklus hidupku. Tidak usahlah
kau mengatur sampai sedetil itu. Aku masih bisa berpikir dan memiliki
manajerial hidup yang mumpuni kok. Tidak usah lah kau mengajukan pertanyaan yang
sama, tiga kali sehari, dan marah marah ketika tidak ada jawaban. “Udah makan,
Bang?” Kita sudah sama-sama bukan anak SMA yang perlu diperhatikan makan sekali
tiga kali oleh pacar (selayaknya babysitter). Kadangkala jika dibiarkan itu
akan merajalela juga kan. Gak asik jadinya. Pada dasarnya layak dianggap
sebagai manusia merdeka, eh bisa-bisa dijadikan musuh utama dalam kehidupan
kita. sudah ku katakan, itu sangat-sangat tidak asik. Kan kamu tentunya lebih
paham, karena postur tubuhmu tidak menunjukkan lagi kamu berbakat jadi anak TK.
***
Aku cuma menyarankan untuk segera lenyap dari bayang-bayang keluargaku. Kamu pastinya beranggapan aku takut pada ancaman-ancaman yang pernah kau layangkan padaku. Masalahnya bukan itu. Masalahnya adalah sikap nekat kamu yang bisa membawa mudharat pada khalayak ramai. Karena kamu memang kurang sadar diri kan. Sikap yang sudah kamu tanam dan tumbuh subur di otakmu. Sungguh sangat disayangkan.
Dan mulai saat ini juga setelah kamu menerima bacaan ini, kamu jangan pernah lagi “meminta” keadilan balasan kabar. Itu sangat mustahil. Bahkan cacian pun tidak layak lagi disandarkan pada perangai busukmu. Dan jangan berharap lagi bisa berlindung disebalik pundak orangtuaku. Kamu kan suka begitu, ketika awal-awal bertemu. Ingat baik-baik pesan terakhirku, “Jangan usik ketenangan keluargaku duhai wanita yang tak tahu malu.”
***
Ra, begitulah kira-kira penggalan beberapa perenggan surat yang pernah ku tuliskan untuk seorang perempuan yang sudah sangat menikmati untuk menggangu privasiku selama hampir satu tahun kala itu. Aku tidak tahu apa motif dibalik kelakuan anehnya itu. Sekonyong-konyong dan seaneh-anehnya aku sikap aku ke kamu, aku tidak pernah melakukan hal demikian padamu kan, Ra? Begitu juga dirimu.
II
Untuk kamu perempuan yang belum sadar diri. Aku cuma mau berbagi kabar bahwa minggu depan aku melangsungkan pernikahan dengan gadis pilihan, pilihan Tuhan tentunya. Setidaknya aku bisa terbahak dan syukur atas anugerah ini. Gadis yang mungkin belum pernah kamu kenal, karena hingga saat itu, aku belum pernah mengenalkannya pada kamu. Karena aku tahu kamu akan bela-belain untuk berbuat jahat seperti gadis-gadis yang sudah-sudah. Aku berbagi kabar bukan untuk mengundangmu ke hari bahagia kami.
Untuk kamu perempuan yang belum sadar diri. Aku cuma mau berbagi kabar bahwa minggu depan aku melangsungkan pernikahan dengan gadis pilihan, pilihan Tuhan tentunya. Setidaknya aku bisa terbahak dan syukur atas anugerah ini. Gadis yang mungkin belum pernah kamu kenal, karena hingga saat itu, aku belum pernah mengenalkannya pada kamu. Karena aku tahu kamu akan bela-belain untuk berbuat jahat seperti gadis-gadis yang sudah-sudah. Aku berbagi kabar bukan untuk mengundangmu ke hari bahagia kami.
Aku cuma menyarankan untuk segera lenyap dari bayang-bayang keluargaku. Kamu pastinya beranggapan aku takut pada ancaman-ancaman yang pernah kau layangkan padaku. Masalahnya bukan itu. Masalahnya adalah sikap nekat kamu yang bisa membawa mudharat pada khalayak ramai. Karena kamu memang kurang sadar diri kan. Sikap yang sudah kamu tanam dan tumbuh subur di otakmu. Sungguh sangat disayangkan.
Dan mulai saat ini juga setelah kamu menerima bacaan ini, kamu jangan pernah lagi “meminta” keadilan balasan kabar. Itu sangat mustahil. Bahkan cacian pun tidak layak lagi disandarkan pada perangai busukmu. Dan jangan berharap lagi bisa berlindung disebalik pundak orangtuaku. Kamu kan suka begitu, ketika awal-awal bertemu. Ingat baik-baik pesan terakhirku, “Jangan usik ketenangan keluargaku duhai wanita yang tak tahu malu.”
Ra, begitulah kira-kira penggalan beberapa perenggan surat yang pernah ku tuliskan untuk seorang perempuan yang sudah sangat menikmati untuk menggangu privasiku selama hampir satu tahun kala itu. Aku tidak tahu apa motif dibalik kelakuan anehnya itu. Sekonyong-konyong dan seaneh-anehnya aku sikap aku ke kamu, aku tidak pernah melakukan hal demikian padamu kan, Ra? Begitu juga dirimu.
Selayaknya manusia merdeka yang merdeka sepenuhnya, ketika dinasehatin baik-baik tentunya kita akan mendengar, atau setidaknya kita tidak melakukan kesalahan yang sama dan berulang-ulang. Itu yang sepatutnya kita pahami, Ra selaku manusia yang merdeka seperti ku katakan tadi. Memahami pemahaman, dan mengerti pengertian.
Comments
Post a Comment