Calon Sidang Skripsi
http://kresna.students.uii.ac.id/ |
“Skripsi
bab berapa sudah?”
“Calon
istri sudah ada?”
Itulah
beberapa pertanyaan yang sudah saban hari ditanyakan kepadaku. Sudah tidak ada
lagi alasan jitu. Semua sudah kadaluarsa. Aku juga sudah kehabisan akal untuk
mengakali jawabannya. Sudah berulang kali. Bosan. Sudah pasti. Sekali waktu aku
berkelakar dengan menjawab, “sibak rukok
teuk”. Jawaban terakhir yang amat jitu pikirku. Tetapi selang beberapa
waktu pertanyaan yang sama muncul kembali. Suara di ujung telepon selalu
berbunyi begitu. Siapakan pembuat pertanyaan itu? Dia adalah Ummi ku. Ummi tiada
henti menyuarakan pertanyaan yang selalu aku hindari untuk ku jawab (lagi).
****
Aku akhirnya
menemukan jawaban pamungkas untuk
menyelesaikan perkara di hadapan Ummi. Hanya ada satu cara. Siapkan skripsi.
Menjalani sidang akhir. Dan temukan calon pasangan. Ini sangat jitu nan mujur. Akal
sehatku kita mulai bermain. Aku sudah sering terlihat di kampus. Mencari pembimbing
sambil menenteng beberapa kertas putih dengan coretan yang berhamburan. Hampir saban
hari aku selalu menemukan catatan penutup.
“Tolong
revisi kembali”
“Idenya
harus dipertajam lagi”.
“ Sumber
rujukannya harus diperjelas”.
Begitulah
catatan kaki yang selalu ku baca di akhir konsultasi dengan pembimbing. Putus asa?
Tentu saja tidak. Kalau aku menyerah pada keadaan, lemah sekali aku. Lebih baik
putus cinta daripada putus asa. Putus cinta ada banyak wanita. Putus asa? Setidaknya
harus bersemedi di kuburan tua untuk beberapa lama. Dan itu akan merugikan aku
dalam mengejar batas akhir penyelesaian naskah keramatku itu. Dan dua hal lain
juga akan terganggu. Semakin lama skripsi terlunta-lunta, semakin lama juga
hari akhir persidangan. Dan pencarian calon pasangan idaman Ummi juga akan
terkendala.
***
Dua bulan
sudah aku bolak balik kampus untuk konsultasi juga penelitian. Akhirnya,
skripsiku yang di nilai sudah layak, maju ke meja persidangan. Judgementday tinggal menghitung jam
saja. Aku agak sedikit goyah dalam menghadapi persidangan ini. untuk menutupi
kegelisahan, aku mengundang hampir empat puluh orang terdekat untuk
menyemangatiku. Para undangannya pun
tentu orang-orang yang terpilih. Orang-orang yang punya pengaruh besar terhadap
penyelesaian naskan keramat itu. Mulai dari teman yang berbagi solusi, berbagi
secangkir kopi bahkan yang berbagi isi hati. Untuk undangan yang berbagi isi
hati, apakah mereka calon pasanganku? Tentu saja benar. Berapa jumlah mereka? Hampir
satu setengah kali jumlah jari tangan. Mengapa banyak sekali? Karena aku adalah
pribadi yang menganut paham every single
women is my Calon. Siapa dia? Belum tahu juga.
Dengan
begitu banyak penonton, aku sedikit beban di ubun-ubun lepas dengan melihat
wajah mereka. Sekarang tiba saatnya aku di persaksikan atas kelayakan naskah
yang ku buat. Di hadapan empat penguji, skripsi ku di hantam dengan berbagai
pertanyaan. Bahkan aku sampai kalap dalam menjawab pertanyaan yang tak lagi ku
ingat jumlahnya. Setelah menuai banyak cercaan dan juga sanggahan, akhirnya
lembaran naskah keramat itu dinyatakan lulus juga. Aku sangat lega. Dua hal
yang selama ini mengganggu pikiran anak muda, hilang begitu saja.
Satu
hal terakhir, tentang calonku, yang kini harus ku pikul. Ini bukan perkara
mudah. Lebih parah dan lebih sangar daripada pertanyaan para penguji. Hal yang
terakhir ini sangat menentukan ke arah mana kehidupan akan ku bawa. Aku mulai
menerawang. Berharap ilham Tuhan datang. Mengharap ilham Tuhan, tak ubahnya
memercikkan air di padang pasir. Semua semu apabila tanpa usaha yang pasti.
****
Jauh
sebelum aku fokus terhadap skripsi, aku sudah mulai menyeleksi beberapa nama
yang akan masuk dalam daftar calon pasanganku. Ibarat pelatih bola yang blusukan mencari bibit berbakat. Aku juga
begitu. Aku mulai blususkan mencari
bakat-bakat terbaik ke beberapa kehidupan perempuan. Mulai dari yang tua,
hingga mahasiswi angkatan muda. Bahkan ada anak SMA. Pada akhirnya ada beberapa
nama yang ku nilai cocok untuk menjadi calon ibu untuk anak-anakku kelak.
Hari
ini, aku sudah siap untuk pulang sejenak ke kampung halaman. Bertemu Ummi,
memberitahukan bahwa aku sudah selesai sidang dan akan wisuda pada bulan depan.
Aku tidak memberi kabar pada Ummi sebelumnya. Ini ku anggap sebagai kejutan
untuk Ummi ku tercinta. Sudah menjadi kebiasaanku, memberi kabar ketika keadaan
mendesak. Baik itu kabar buruk apalagi yang kabar baik. Mungkin itu tidak baik,
tapi biarlah itu menjadi ke-khas-an pribadiku. Sebelum pulang, aku juga
sudah mempersiapkan beberapa lembar foto calonku. Ini nantinya akan ku
perlihatkan pada Ummi.
****
Setelah
melawan bosan di jalanan, akhirnya bangunan istana di balik gunung pun nampak jelas.
Belum ada yang berubah. Aku sudah sampai di muka gerbang rumah. Banyak teman
seperngopianku menasbihkan banguan tua itu sebagai villa. Terlihat Ummi sedang
sibuk berkutat denagn berkas kantor yang menggunung.
“Jam
berapa tadi berangkatnya?”
“Jam
setengah dua.”
“Cepat
sekali?”
“Biasa
Mi, anak muda orang gila.”
“Istirahat
saja dulu.”
Aku pun berlalu menuju kamar untuk
istirahat sejenak. Aku tidak mendapati pertanyaan menusuk dari Ummi. Entah beliau
sudah tahu perihal sidangku. Ataupun juga sudah bosan menanyakan pertanyaan
yang itu-itu saja. Setidaknya aku sedikit lega. Karena tidak dihadapkan pada
tiga pertanyaan keramat.
****
Setelah
makan malam, aku mengotak-atik laptopku. Ummi juga sibuk dengan pekerjaannya
yang menumpuk. Aku mulai membuka pembicaraan.
“Ummi,
Alhamdulillah tadi Abang sudah sidang,”
“Alhamdulillah,
Bang. Kenapa tidak bilang?”
“Ummi
gak tanya-tanya, ya sudah, gak Abang bilang,” sambil tersenyum.
Terlihat
airmuka Ummi yang berubah sumringah. Senang bercampur haru. Sekejap aku berlalu
ke kamarku. Aku mengambil amplop yang berisi beberapa foto yang kupersiapkan
tadi. Aku menyerahkannya kepada beliau.
“Amplop
apa ini Bang? Uang ?”
“Bukan.”
“Jadi
apa juga?”
“Beberapa
foto bakal calon menantu Ummi,” jawabku santai.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteEndingnya nendang abis bro, terus berkarya.
ReplyDelete