Ra, Dengarkanlah Saja XVI

Ra, sudah lama sekali aku tidak berbagi cerita denganmu kan. Entah itu karena kita terlalu sibuk atau kamu yang selalu tidur terlalu cepat beberapa minggu ini. Aku kesepian lho, Ra. Tidak ada kawan cerita. Ah, tak mengapa lah, aku sangat memberi pengertian akan hal itu. Tidak menjadi soal, karena kamu sudah sangat baik bagiku. Aku harus banyak mengalah dan berusaha sabar. Karena yang aku tahu, kealpaanmu berarti ada kesalahan pada diriku pribadi. Aku harus menjaga eksistensi egoisme harus tetap di bawah rata-rata. Benar kan Ra?


Untuk malam ini kita minum teh hangat saja. Dan tadi, ada ku belikan gorengan tahu dan tempe kesukaanmu di masa gadis dulu. Sepertinya sudah sedikit dingin. Kamu ambilkan saja dulu. Nanti kita celupin ke teh buatanmu. Terima kasih, Ra. Sekarang aku mau melanjutkan ceritaku yang tertunda itu. Sebelumnya lihat dulu ke awan sana, ada beberapa bintang yang tersenyum padamu.

Ra, dulu lama sekali ketika aku mulai jalan-jalan ke beberapa kota aku bertemu dengan seorang perempuan. Perawakannya kecil, putih, bibir sangat menggoda ku rasa. Semacam Dewi Persik gitu. Nah, ceritanya aku semobil dengannya ketika ingin mengunjungi salah satu tempat wisata favoritku. Aku tidak tahu menahu akan berjumpa dengan gadis ayu ini dalam perjalananku. Aku yang pendiam dan pasang muka seram sesekali meliriknya melalui layar ponsel. Dari bersebelahan aku melihat dia juga sesekali melirikku. Sambil pura-pura tidur di memalingkan wajahnya. Setelah beberapa saat, ketika mobilnya istirahat sebentar, kami pun berkenalan.

Sebelum berkenalan, aku mengira dia adalah perempuan biasa yang mempunyai kapasitas yang biasa-biasa saja. setelah mobil yang kami tumpangi mulai bergerak lagi maka adrenalin berkenalanku pun meledak. Aku memberanikan diri untuk berbicara. Awalnya agak canggung juga sih, Ra. Seperti waktu pertama kali aku menyapamu. Aku mulai bicara tentang beberapa daerah tempat wisata di daerah kita. juga beberapa perjalanan yang sudah ku lakukan. Ku lihat dia terkagum-kagum begitu. Dengan gaya bicaraku yang ceplas ceplos aku masih saja sanggup mengobrak-abrik beberapa cerita yang sedikit ku karang-karang. Asalkan bisa menarik perhatian lawan bicara, itu prinsip awal.

Nah setelah aku berbicara panjang lebar, dia pun mengambil bagian untuk bicara. Ini yang membuat aku terkejut. Dia adalah seorang mahasiswa pascasarjana bagian ekonomi islam gitu. Betapa tidak? Dia masih sangat muda. Menurut perawakannya aku menebak umurnya Cuma baru 22 tahun lebih sedikit. Dan sudah menjadi mahasiswa pascasarjana. Maka bertambah-tambahlah kagumku padanya. Bagaimana denganku ketika umur segitu? Seingatku, aku masih duduk di warung kopi dengan sepuntung rokok di tangan. Ah sudahlah, Ra. Yang penting aku sudah punya kamu. Bukan gelar yang berjejer di belakang nama. Hari itu banyak hal yang dapat kami bagi, mulai dari pengalamannya sebagai mahasiswa pascasarjana, begitu juga dengan karangan ceritaku tentang beberapa destinasi pariwisata. Andai saja aku bisa lebih lama bersamanya, bisa lahir lagi benih cinta yang lebih dalam. walaupun tidak berhubungan secara khusus, setidaknya kali ini ada juga cinta yang di lahirkan yaitu Cinta Satu Jalan. Begitulah akhir kisah cinta satu jalan kami yang dipisahkan oleh sebuah tujuan yang berlainan. Kami sama-sama meninggalkan mobil tumpangan menunggu jemputan.

Yah, kamu jangan ketawa begitu dong. Kamu senang ya karena tidak ada cinta dalam cerita kali ini ya? Tunggu aja cerita selanjutnya, akan ada banyak cinta di dalamnya. Tapi kamu jangan lupa, cemburu itu sebagian dari bumbu cinta. Oh ya Ra, besok jangan lupa, baju hadiah ulang tahunmu itu kamu pakai ya. Sebelum kita tidur, aku punya satu permintaan. Kamu mau tahu? Benar-benar ingin tahu ya? Besok aja lah ku bilang ya. Tapi kalau kamu memaksa, aku akan bilang sekarang. Aku mengantuk Ra. Tolong papah aku ke kamar.

Comments

Popular posts from this blog

(Karena) Lelaki itu Tukang Olah

Jampok

Bansa Teuleubeh +