Ra, Dengarkanlah Saja XVII

Ra, kangen kamu boleh? Sayang sama kamu boleh? Sayang seperti ketika jumpa dulu. Ketika kita sama-sama menyembunyikan rasa rindu berbulan-bulan. Kamu ingat tidak ketika kamu mengantarkan aku makan malam berisikan daging rendang itu. Ingat tidak? Aku masih sangat ingat peristiwa bersejarah itu lho. Kamu mengirimkan aku pesan singkat yang hingga beberapa lama masih ku simpan. Dan pesan singkat itu terhapus ketika ponsel serba bisa yang ku miliki menemui ajalnya. Hehehe.

Eh, Ra, aku hampir punya kerja tetap lho, tapi masih tetap sebagai buruh, bukan pemimpin. Tak mengapalah, asalkan kerja kita halal kan Ra? Ra, ada satu cerita yang ku alami jauh sebelum aku mengenal kamu. Ini tentang teman kelasku yang diam-diam juga kami saling jatuh cinta. Awalnya kami memang tidak saling mengenal hingga suatu hari kami dihadapkan pada kenyataan untuk bekerja sama dalam tugas kelompok. Namanya juga pelajar kan. Pasti ada banyak tugas dari dosen. Nah, ini adalah awal mula kedekatan kami. Setahuku, ketika itu dia masih mempunyai pacar. Kok masih pacaran? Kan masih SMA. Begitu juga denganku, aku masih punya pacar. Tentang pacar aku? Nanti saja ku ceritakan di malam kapan-kapan.
            ***
Ra, setiap aku berjumpa dengannya, aku tidak pernah akur. Ada saja ejekan juga candaan yang sesekali melampaui batas. Kami memang tidak menyimpan perasaan apa-apa sih. Cuma teman biasa. Hingga pada bulan ke sepuluh dari awal perjumpaan kami, dia mulai membuka pembicaraan curhat. Saat itu aku adalah orang yang sangat setia mendengar curhatan teman sekitar. Tugas aku cuma mendengar, tidak lebih dari itu. Solusi? Tidak pernah ada solusi. Karena mendengar bagiku itu lebih baik dan setidaknya bisa mengurangi beban pikiran lawan bicara.

Saat itu dia bercerita tentang pacarnya. Pacarnya seumuran dengan kami. Seorang lelaki yang baik dan setahuku dia juga seorang pemimpin di sebuah perusahaan dagang. Aku tidak terlalu mengenal pacarnya itu. Dia bercerita denganku karena dia tidak tahu ingin bercerita kepada siapa lagi. Entahlah. Yang penting aku menjadi pendengar yang baik. Aku berusaha untuk tetap tidak terbawa suasana, Ra. Karena ketika terbawa suasana, perasaan kita sudah agak berbeda lho. Maka sari itu setiap aku mendengar ceritanya, aku hanya mendengar saja.

Pernah sekali waktu dia bercerita sambil menangis sekuat-kuatnya. Karena sesaat sebelumnya dia mengirimkan pesan singkat yang isinya begini, "Aku akan tetap tersenyum dan move on walaupun itu akan sangat menyakitkan. Aku akan tetap bertahan untuk melewati semua keadaan ini."

Setelah itu dia menangis dengan sebenar-benar tangisan. Kalau aku tidak salah ingat, ketika itu dia sedang sangat terpuruk dan masih bisa belum bisa mengikhlaskan seseorang yang pernah dekat dengannya. Malam itu aku secara terpaksa terlarut dalam suasana. Dengan tidak sengaja aku memberinya sedikit ceramah, dan itu ditentang olehnya. Rupanya hanya dia ingin didengar kali ini. Bukan ceramah ataupun nasehat lainnya. Ra, buatkan kita kopi dulu ya. Di toples meja depan ada biscuit sejuta umat, Unibis. Ambilkan itu saja sebagai pengganjal perut yang sudah agak lapar.
            ****
Ra, cerita selanjutnya setelah kejadian itu kami semakin dekat dan dekat. Kemana-mana kami selalu berdua. Aku juga sering pergi ke rumahnya. Di sana kami saling berdiskusi tentang kuliah juga hal-hal lainnya seperti masa depan dan tentunya jalan-jalan. Kebersamaan itu berlangsung hingga beberapa tahun dan akhirnya kami berpisah karena kesibukan masing-masing. Tepatnya, aku sibuk dengan pekerjaan serabutan dan jalan-jalan sedangkan dia sibuk dengan murid-murid hebatnya. Menurut kabar yang ku dapatkan, dia memulai kariernya dengan membuka sanggar untuk kelas menari dan melukis. Setelah beberapa lama bergelut dengan kesenian ia mendapatkan jodoh yang kebetulan juga berasal dari kalangan seniman. Katanya sih, bakat seni suaminya turun dari ayahnya. Setelah itu mereka mulai merintis usaha pendirian sekolah seni yang lebih besar untuk anak-anak umur 10 tahun ke bawah. Berkat keteguhan hati dan usaha bersama suaminya, sekolah itu menjadi semakin maju.

Dan Ra, ketika aku juga mendapatkan undangan untuk acara pernikahan mereka. Pun aku pernah dekat dengannya, aku tetap menyempatkan diri untuk hadir pada acara pernikahan dan juga pesta perkawinannya kala itu. Hatiku sih biasa aja. Ikhlaskan apa yang terjadi. Hasil tergantung pada usaha kita. Betul begitu kan, Ra? Dan malam ini, aku sudah bersama kamu, sungguh usaha itu untuk mendapatkanmu tidaklah mudah.

Ra, kamu tahu apa? Kopimu malam ini takarannya cukup memanjakan lidahku. Untung saja aku tidak lagi merokok seperti sepuluh tahun yang lalu, Ra. Terima kasih ya sudah menjadikanku pilihan terakhirmu. Jangan kamu cubit aku begitu. Aku juga menjadikanmu sebagai pilihan terakhir yang terlalu sempurna nan istimewa. Lihat dulu ke sana, bintang saja tersenyum padamu lho.

Belum lengkap kalau belum flashback ke Ra, Dengarkanlah Saja XVI dan Ra, Dengarkanlah Saja XV

Comments

Popular posts from this blog

(Karena) Lelaki itu Tukang Olah

Jampok

Bansa Teuleubeh +