Ra, Dengarkanlah Saja XIII
Ra, kamu ingat tidak lagu di ketika kita
masih duduk di bangku TK, "mawar melati semuanya indah?" Mungkin itu
penyebabnya aku menceritakan banyak kisah hidupku dengan banyak "mawar
melati" yang menurutku semuanya indah. Aku tidak bohong Ra. Sebelum kita
menikah semua akan terlihat indah dimata kita. Ada banyak hal yang positif
terlihat dari mawar A, melati B, mawar C, melati D dan seterusnya. Namanya saja
mata lelaki. Susah untuk dipisahkan dari sekelumit permasalahan dasar atas nama
nafsu.
Nah malam ini aku mau bercerita panjang
lebar tentang kegelisahanku untuk menghalalkan segala cara demi kepuasan nafsu
belaka. Ceritanya sepulangnya aku dari negeri orang putih, pada bulan-bulan
awal aku sangat tersiksa. Di sini tidak ada “mawar” yag bisa di nikmati secara sembarangan.
Pun itu bisa harus melalui proses yang berliku dengan membayar si A, B, C dan
D. Peraturannya sangat ketat. Bisa-bisa aku di cambuk dihadapan khalayak ramai.
Untuk mengobati kerinduan akan kehidupan orang putih aku memilih untuk
meninggalkan tanah tumpah darahku selama beberapa bulan. Dari sinilah cerita
lain dimulai, di negeri seberang pulau.
Sebelum aku bercerita panjang lebar,
kamu harus berjanji untuk tidak bersedih. Untuk cemburu, kamu tidak perlu meluapkannya
secara terang-terangan, karena aku sudah memilihmu untuk selamanya. Karena
mengikuti titah dari nenekku, katanya begini, “Istri itu bukan baju yang bisa
di gonta-ganti namun dianya adalah nadi, jika ia terputus maka dianya mati,
sekali seumur hidup”. Maka dapat di simpulkan bahwa titah itu bukan bertumpu
pada kesetiaan tapi pada pilihan untuk bertahan hidup bersama-sama. Jadi, kamu tidak perlu lagi cemburu.
Kembali pada cerita masa laluku,
kira-kira setelah sebulan aku “hijrah” aku berjumpa dengan gadis blasteran secara suku. Aku tidak tahu suku apa tepatnya. Kami
berkenalan saat berbelanja di sebuah mall. Secara tidak sengaja aku melihat
paras cantik nan ayu
itu sedang mendorong troli belanjaan. Aku langsung membuntutinya dari belakang,
seperti di film-film Hollywood. Bedanya mereka adalah intelijen keamanan
sedangkan aku intelijen hati. Namun misiku kali ini gagal, aku ketahuan
mengikuti gadis itu. Tapi aku tidak kehabisan akal. Aku langsung menyambanginya
dan berkenalan dengan gagah berani. Kamu tentu bertanya-tanya, bagaimana
hari-hariku selanjutnya. Sebelum ku ceritakan kisah ini, buatkan aku kopi
seperti biasa. Tadi ada ku belikan bubuk kopi asli dataran negeri Antara
terbaru, Ra. Gunakan itu saja. buatkan seukuran tiga gelas, karena ceritanya
sangat rumit.
***
Oke, Ra. Setelah dua minggu dari hari
aku berkenalan dengannya, kami sudah sangat intim dalam mebangun komunikasi.
Tidak susah membangun komunikasi yang sangat intim dengan perempuan di daerah
ini. keramahan mereka patut di acungi jempol, dengan catatan dalam hal yang ku
anggap agak negatif. Memasuki bulan kedua, kami sudah sering keluar malam,
adakalanya hanya sekedar makan di malam minggu, ada juga pergi ke bioskop juga
ke klub malam. Aku mulai menikmati lagi masa-masa ketika aku tinggal di negeri
orang putih. Rutinitas itu berlangsung sampai beberapa bulan. Biasanya kalau
malam minggu kami sering keluar untuk alasan makan. Setelah puas makan, kami
melanjutkan jalan-jalan di beberapa mall ternama. Jika tidak jalan-jalan, aku
sering mengajaknya untuk melepas penat di klub malam.
Ra, ini adalah kejadian yang mungkin
susah untuk ku lupakan. Bagaimana tidak, sebelum aku memutuskan untuk
menikahimu, hidupku memang sudah susah secara agama, walaupun kelihatan happy secara duniawi. Ketika aku
menjalin kasih dengan perempuan ini, kami sudah sama-sama bekerja. Aku bekerja
di perusahaan garmen sedangkan dia bekerja di toko pembuat kue. Setiap akhir
bulan kami sering menabung gaji masing-masing untuk stok uang ke klub malam.
Kami ke klub malam minimal sebulan 4 kali. Kamu bisa bayangkan bukan berapa
liter anggur dan vodka yang sudah mengalir di dalam darahku. Aku sendiri saja
sedih ketika harus bercerita tentang ini.
Setelah kisah asmara itu memasuki usia
Sembilan bulan, kami sudah tidak lagi bermain di klub malam. Aku lupa jelaskan
kalau dia itu juga perantau dan menyewa kamar kost-an. Jadi setelah hubungan
kami memasuki usia Sembilan bulan tadi, kami memutuskan untuk berdiam bersama
dalam satu rumah. Lagi-lagi, teman rasa menikah. Kami hidup serumah. Kali ini
dengan pribumi, ayu, cantik. Benar-benar beruntung secara duniawi. Dan
rutinitas itu berlangsung selama setahun. Kami tidak lagi keluar ke klub malam
karena setiap pulang kerja aku selalu membawa beberapa botol bir kelas menengah
untuk diminum sebelum tidur. Tak ubahnya seperti kita menyeruput kopi selama
ini.
Seperti yang kita tahu, setiap ada
pertemuan pasti ada perpisahan. Begitu juga dengan hubungan terlarang ini. Setelah setahun serumah, kami berpisah di
tengah jalan. Dia memutuskan untuk pulang kampung meninggalkan aku sendiri di
tanah rantau ini. katanya, dia ingin menjaga orangtuanya yang sudah mulai
sakit-sakitan. Lima bulan setelah kepulangannya, aku juga memutuskan
meninggalkan kenangan suram di tanah itu. Aku berniat secara sungguh-sungguh
dalam hati untuk bertaubat secara penuh. Dan di awal bulan ke enam, aku
meninggalkan sejuta kepiluan di sana.
***
Ra, kamu jangan terisak begitu. Coba kau
tatap mataku dalam-dalam. Kamu tahu bagaimana perasaanku saat ini? Saat aku
bercerita tentang pahitnya rasa sesal dan manisnya perbuatan yang diikuti
secara nafsu belaka? Beginilah rasanya. Karena penyesalan selalu datang
terlambat. Ra, bolehkah kau dekap tubuhku secara perlahan? Aku tidak sanggup
lagi mengingat dan bercerita tentang ini. tubuhku terasa dingin, Ra. Dekaplah
erat-erat, tolong Ra. Malam ini aku benar-benar takut, Ra. Airmataku tidak
sanggup lagi ku keluarkan, aku menyesal, Ra. Aku sayangkan kamu banyak-banyak,
Ra. Ra, aku sayang kamu. Benar-benar sayang kamu karena Allah. Ra, terima kasih
karena sudah mau menerimaku, sosok dengan sejuta dosa, untuk menjadi suamimu.
Terima kasih, Ra karena sudah mau mendengar ceritaku mala mini. Ngomog-ngomong
kopinya agak sedikit manis malam ini. Jom shalat dua rakaat sebelum kita
terlelap.
Comments
Post a Comment