Ra, Dengarkanlah Saja XV

Bismillah. Aku mulai menulis dengan Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Begitu lho Ra. Memang harus begitu, menulis itu butuh keikhlasan dan ketekunan yang luar biasa. Kamu harus percaya apa yang aku bilang. Aku tidak memaksa kamu, tapi aku cuma berbagi ilmu tentang menulis tingkat abal-abal. Begitu aku yang aku rasakan, menulis itu adalah proses menggabungkan beberapa ide juga masalah memilih kata yang tepat untuk mendapatkan rangkaian yang sesuai.

Ra, malam ini tepat 24 hari aku tidak disampingmu. Maka dari itu aku cuma bisa mengirimkan sebuah surat cinta tanda sayangku terhadapmu belum sempat terkikis dan ini karena Allah, Ra. Yakini saja begitu, karena jika pun aku berbohong, Allah masih bisa mengetahui kebenarannya. Ah, tak usahlah aku berbicara yang bukan-bukan karena nantinya kamu akan merasa bersedih lagi. Apalagi tidak ada aku di sampingmu. Aku tidak sanggup membayangkan itu terjadi padamu.

Ra, melalui surat ini aku tetap mau bercerita tentang masa laluku dengan perempuan yang mengisi hatiku sebelum kamu. Dalam cerita ini aku akan membawa ingatanku kembali ke masa remajaku. Tepatnya 14 tahun yang lalu, saat aku duduk di bangku kelas tiga pendidikan menengah pertama. Seingatku begitu. Kala itu, tepatnya awal tahun ajaran baru. Menurut penerawanganku, ketika itu adalah musim ospek. Aku melihat perempuan itu di antara gerombolan anak baru yang berhiaskan sampah-sampah ospek di leher dan bagian muka. Pun berlumuran sesampahan itu, dia terlihat menarik bagiku. Hanya bagiku saja, kalau menurut oranglain tentunya aku tidak tahu-menahu.

Nah cerita selanjutnya, aku tidak menghampirinya kali ini. maklum saja, aku masih sangat lugu dalam hal mendekati perempuan apalagi itu adik kelas aku. Sungguh menjadi aib bagiku. Kamu kan tahu alasannya. Bukan spesialisku sama sekali. Bukan, Ra. Sehari setelah aku melihatnya, aku mulai menyusun rencana perburuan mangsa untuk pertama kalinya, kurasa. Gugup, deg-degan. Itu pasti. Saat itu, aku menggunakan jasa temanku untuk mendekatkan aku dengannya, tepatnya dengan cara menghukum si perempuan itu yaitu mencari aku lalu meminta tanda tanganku. Cukup keren bukan? untuk pecinta kelas anak-anak ku rasa sangat keren. Kamu jangan tertawa ketika membaca suratku pada bagian ini. karena aku sangat terlihat bodoh. Dan trik hukuman tanda tangan berhasil seratus per seratus kalau bahasa melayu alias one hundred percent. Aku bisa berkenalan dengannya dan memiliki nomor teleponnya. Waktu itu belum ada smartphone seperti sekarang. Hanya wartel yang berkeliaran kala itu. Itupun tidak merata di setiap daerah. Alhamdulillah di tempatku sudah ada pelayanan telepon lokal dan interlokal.

Hari-hari pun berlalu, aku mulai sering meneleponnya. Setiap pulang sekolah aku selalu menyisihkan sedikit jajan yang kemudian aku gunakan untuk menelepon adik kelasku itu di waktu senggang. Dengan berbicara melalui telepon saja aku sudah sangat merasa gembira. Istilah bahasa kita itu uroe raya kleng. Ini cinta monyet yang kedua lho Ra. Kamu masih ingat kan cinta monyetku ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar dengan seorang Chinese. Seingatku kali ini adalah jalan pembuka kembali kekuatan pesona diri yang terlanjur terbawa secara genetika. Oke, kembali lagi ke pokok cerita. Hubunganku dengan adik kelas ini berlangsung selama setahun saja. Tidak ada cerita yang istimewa kecuali beberapa kali, saat aku meneleponnya, ayahnya yang menjawab di ujung telepon. Aku takut bukan kepalang hingga akhirnya menjadi hal yang biasa tapi aku masih merasa takut. Secara psikologis, anak-anak tetap takut pada orangtua apalagi ayahnya itu masih bekerja sebagai tentara dan berkumis tebal. Kegarangannya itu yang membuat hatiku ciut, Ra. Jadi hubunganku berakhir ketika aku menamatkan sekolah tingkat pertama dan kembali merantau ke luar daerah mengikuti jejak orangtuaku yang pekerjaannya selalu nomaden. Cinta monyet itu tidak bisa lagi dipertahankan lebih jauh. Setalah kepindahanku aku sudah tidak lagi menelponnya. Ini disebabkan, mungkin, oleh adanya benih baru yang sudah mulai tersemai di masa SMA. Walaupun aku masih kelas satu, aku sudah mengincar kakak kelas. Dari sinilah aku memulai misi yang lebih kompleks, Ra. Tapi cerita SMA ku tidak ku ceritakan sekarang. Tidak etis ku rasa. Karena aku tidak bisa menyeruput kopi bersamamu. Apalagi ketika kau mulai cemburu dan cemberut. Aku tidak bisa melihatnya, Ra. Jadi ku pendam saja dulu sampai aku kembali.
            ***
Sedikit lagi sebelum ku akhiri cerita ini. Setelah beberapa tahun kemudian takdir berkata lain, Ra. Aku kembali bertemu dengan…. kok kamu, Ra? Kenapa kamu muncul di hadapanku, Ra? Bukankah aku sedang di luar kota? Ah, rupanya tadi aku bermimpi, Ra. Tolong buatkan kopi, setidaknya bisa menenangkan hatiku yang terasa tidak teratur akibat pengaruh mimpi tadi, Ra.



Comments

Popular posts from this blog

(Karena) Lelaki itu Tukang Olah

Jampok

Bansa Teuleubeh +