Dua Jam Lagi, Ayah!
Image : catatansizuki.files.wordpress.com |
Banda aceh, 25 Juli 2005.
“Bapak sudah tiada
,Nak” begitu suara sayup di ujung teleponku. Tubuhku langsung bergetar
mendengar berita tersebut. Tak ada kata terbersit di mulutku kecuali hati bisu
kelu berurai sedih. Mukaku pucat pasi tak bergerak, rautnya datar tenggelam
dalam hening pagi mentari yang cerah. Awan yang cerah seakan merubah wajahnya
menjadi hitam melihat kelesuanku di sudut ruang yang sunyi. Tanpa banyak
berbicara lagi aku langsung bergegas untuk melihat wajah ayah yang sudah tiada
untuk terakhir kalinya.
Perlu di ketahui, aku
sudah lama tidak bertemu dengan ayah, karena kesibukan kuliah di sebuah kota
kecil di daerahku. Aku sudah cukup lama tidak berjumpa dengan beliau dan bahkan
semasa hidupnya juga aku kurang mendapat “perhatian” dari beliau, tapi itu
tidak masalah bagi aku. Mungkin karena sibuk untuk mencari nafkah untuk
menghidupi keluarga kecilnya yaitu ibu, aku dan adik-adikku. Aku hanya bisa
berjumpa dengan beliau setahun dua kali pada suatu hari raya atau bahkan setahun
sekali. Maklum saja beliau bekerja di negeri jiran Malaysia dan kadang-kadang
menyambangi Singapura hingga negeri Gajah Putih
Thailand. Semasa daerahku tengah dilanda konflik, ayah harus pergi
mengasingkan diri karena ada isu beliau di anggap orang yang membantu pasukan
pembela perjuang daerahku. Ini adalah salah satu alasan lain mengapa beliau
jarang berjumpa denganku.
Setelah konflik mereda
beliau sudah memberanikan diri untuk kembali ke rumah berkumpul bersama
keluarga kecilku. Tapi beliau sudah sering sakit-sakitan karena mungkin faktor
usia dan juga beban pekerjaan yang begitu berat selama hidupnya. Sedikit ku
gambarkan wajah ayahku, beliau tinggi lebih kurang 170 cm dan berbadan gempal
yang sering dijuluki dengan sebutan Bang Haji Rhoma Irama di kampungku. Ada
kemiripan dari wajahnya yaitu jenggot yang lebat serta potongan wajah, hanya
tinggi saja yang membedakan keduanya. Bang Haji Rhoma sedikit lebih pendek dari
ayahku. Ayahku juga pecinta lagu-lagu bang Haji seperti Begadang, Perjuangan,dan
lain-lain. Dalam lemari kasetnya, penuh dengan lagu-lagu dari Bang Haji dari
album A hingga album Z. Di sinilah aku juga mulai terjun untuk menyukai
lagu-lagu Bang Haji.
****
Ayahku
meninggal di rumah keluarga besar orangtuanya bukan di rumahku. Jadi keluargaku
juga harus pulang kesana, karena pada saat beliau sakit, beliau ingin di
pulangkan ke sana. Dan juga untuk bisa lebih mudah untuk berkonsultasi dengan
pihak keluarga sari ayah untuk masalah pengobatan pada saat hidupnya
Dalam perjalanan pulang
tersebut aku hanya bisa berdo’a dan berharap bisa melihat wajah ayahku untuk
terakhir kalinya. Aku berharap bisa mengantarnya sampai ke tempat
peristirahatan terakhirnya. Di kota tempat aku kuliah ini juga ada beberapa
saudara sepupuku yang juga pulang untuk melihat Pamannya yang meninggal yaitu
ayahku. Tapi mereka pulang lebih cepat daripada aku beberapa menit. Jarak antara
kota tempat aku menuntut ilmu ke rumah duka kira-kira 300 Km yang harus di
tempuh selama lebih kurang 6 jam.
Aku harus mengejar sang
waktu untuk lebih mudah memotong jarak tempuhku untuk bertemu dengan wajah yang
sudah tak bergerak itu walaupun senyumnya masih tetap lebar untukku.
“Ayah, kau ingin melihat wajahmu”
begitu pintaku.
“Aku hanya butuh
beberapa saat lagi untuk bertemu denganmu” tambah ku dalam hati.
“Hanya
dua jam lagi ayah, dua jam lagi ayah, aku akan menjumpaimu” sedih berurai air
mata tanpa sadar.
Dalam perjalanan yang
panjang tersebut seakan semangat ayah merasuki tubuhku yang lelah dalam
menunggang kuda besi untuk lekas menemuinya walaupun kesedihan terus
menyelimuti hati kecilku. Aku terus berharap sekuat hati. Di tengah perjalanan
telepon bordering kembali. Rupanya dari mamaku.
“Sudah sampai kemana
kamu,Nak ?” tanya ibuku.
“Tinggal 2 jam perjalanan
lagi,Ma ?” jawabku sambil terisak-isak.
“ Ya sudah, hati-hati
ya !!!” balas ibuku.
Aku kembali bergegas
dengan menancap gas sepeda motorku dengan sekuat tenaga. Aku sudah
memperhitungkan bahwa aku akan sampi ke kediaman sebelum pemakaman dan aku
yakin para keluarga dari pihak ayah akan menunggu pulangnya aku, anak laki-laki
satu-satunya ini. Paling tidak bisa melihat untuk terakhir kalinya walaupun tak
bisa berbicara timbal balik lagi.
Kembali bunyi telepon berdering
di tengah perjalananku. Terlintas dalam pikiran untuk tidak menjawab deringan
telepon tersebut tapi hati kecilku berkata lain. Aku berhenti untuk
menjawabnya. Aku melihatnya rupanya dari pamanku dari pihak ibu.
“Iya,
Om. Kenapa lagi, kurang dari dua jam lagi aku akan tiba kok, Om,”, potongku
tanpa sempat ku jawab salamnya.
“Bapak
sudah di kebumikan, Nak. Ini kebijakan keluarga dari pihak ayah “, selanya
memotong pernyataanku.
“Kamu langsung pulang
ke sini ya,” tandas pamanku.
Aku langsung menutup
teleponnya tanpa adanya salam juga dan hatiku langsung menangis dengan
sekuat-kuatnya karena tak bisa melihat wajah ayah untuk terakhir kalinya itu.
Dalam pikiranku yang sudah di tumbuhi rasa bersedih yang sangat besar sambil
terngiang-ngiang suara paman tadi.
“Bapak sudah di
kebumikan, Nak. Ini kebijakan keluarga dari pihak Bapak “
“Bapak sudah di
kebumikan, Nak. Ini kebijakan keluarga dari pihak Bapak “
“Bapak sudah di
kebumikan, Nak. Ini kebijakan keluarga dari pihak Bapak “
“Bapak sudah di
kebumikan, Nak. Ini kebijakan keluarga dari pihak Bapak “
Aku langsung kacau
tanpa memperdulikan apa yang akan terjadi kedepannya. Aku tidak lagi ingin
pulang. Dalam hati, aku berkata, “Kebijakan macam apa yang di ambil keluarga
Ayah. Bangsat semua mereka. Di anggap apa aku ini. Aku ini anaknya bahkan aku
anak lekali satu-satunya yang ia punya.”
“Hanya butuh waktu dua
jam lagi untuk menunggu aku pulang. Apa salahnya menunggu sejenak untuk bisa
mempertemukan anak dengan ayah yang sudah lama tidak berjumpa ini. Dua jam lagi
aku tiba, dua jam lagi, Ayahku ,” timpaku lagi.
Aku tak beranjak dari
tempat duduk istirahatku tadi.
“Maafkan aku Ayah,
bukannya aku tak mau berjumpa denganmu, tapi keluargamu lah yang tak mau
mempertemukan aku untuk mencium pipimu untuk terakhir kali dan mengantar mu ke
tempat abadimu itu.”
“Dua jam lagi aku bisa menjangkau
mu tapi aku tak bisa ,Ayah.”
“Dua jam lagi aku bisa
menshalati jasadmu, tapi aku tak berkesempatan untuk itu.”
“Maafkan
anakmu ini yang tak bisa mengantar jiwamu terbang dengan tenang ke alam sana, Ayah.”
Dua jam lagi, Ayah.
Hanya dua jam lagi!
****
Dalam kesendirian
terkadang aku melihat senyum lebar ayah yang seakan gembira melihat aku sudah
tumbuh besar seperti yang di cita-citakannya. Jauh sebelum ia meninggal, ia
Cuma meninggalkan secuil pesan yang tanpa ku sadari ini adalah pesan
terakhirnya.
“Jadilah laki-laki yang
bebas dan bertanggungjawab terhadap Agama dan keluarga”
Hingga saat ini aku
belum bisa memenuhi hal tersebut, tapi aku akan berusaha membahagiakan ayah,
walaupun kita sudah berbeda tempat. Salam manis untuk ayahku yang hebat !
Sudah dipublikasi oleh Aceh Kita sekitar tahun 2012.
Comments
Post a Comment