Kisah kasih Sejarah

Image : ahmadsamantho.wordpress.com
Sejarah adalah suatu bidang ilmu yang kadar sunjektifitasnya sangat tinggi. Seajarah ditulis kebanyakan untuk kepentingan suatu kelompok saja, bahan propaganda juga untuk melegitimasi kekuasaan yang berkepanjangan. Sejarah juga banyak digunakan untuk kendaraan politik para pemilik perintah untuk menunjukkan taring pada masyarakat bawah. Dan kita masyarakat biasa hanya bisa menerima tulisan sejarah itu tanpa menyelidikinya lebih lanjut.
Pernah suatu ketika, beberapa muris saya menanyakan tentang sejarah perjuangan (kalau tidak ingin mengatakan pemberontakan) GAM. Spontan saja saya bertanya balik kepada mereka, “Kalian mau mendengar sejarah versi siapa? Indonesia kah atau pun dari sudut pandang masyarakat aceh?”. Tentunya pilihan menetukan versi akan serta merta membuat kisah yang mereka dengar akan berbeda. Kisah perjuangan heroik berbanding dengan label pemberontak. Dua poin yang mempunyai jurang pemisah yang sangat curam.
Kisah pengalaman saya di atas mungkin hanya dari sebagian kecil cara melihat dan mengetahui sejarah itu dikisahkan. Kita, selaku putra bangsa sudah barang pasti mengikuti pelajaran Sejarah sejak sekolah menengah tingkat pertama hingga tingkat atas. Paling kurang 6 tahun kita disuguhi oleh berbagai kisah pemberontakan pada awal kemerdekaan Indonesia. Contohnya saja pemberontakan (sebagaimana ditulis dalam buku sejarah SMP dan SMA) DI/TII di berbagai daerah Republik Indonesia Serikat. Di sana tertulis jelas actor-aktor kawakan yang menabuh genderang perang. Mereka bukan orang yang sembarangan. Mereka bukan orang awam yang tidak pernah mengecap pendidikan tinggi. Mereka adalah orang-orang  yang bahu membahu memperjuangkan kemerdekaan Indonesia hingga sampai pada pembacaan proklamasi oleh Soekarno.
Sebut saja Sekarmadji Marijan Kartosuwiryo, tokoh taktik perang asal Jawa Barat yang tanpapatah arang meramu strategi gerilya hingga ikut andil dalam perumusan Piagam Jakarta. Dan banyak di antara kita tidak pernah tahu jika Soekarno (sebagai pemegang tongkat komando penumpasan DI/TII) adalah sahabat karib Sekarmadji Marijan Kartosuwiryo ( Pendiri NII). Semasa keduanya masih di didik oleh Haji Omar Said Cokroaminoto ( Tokoh Syarikat Islam), mereka bahkan tidur sekamar, dan saling ledek meledek apabila ada yang kurang pas, layaknya anak muda yang sering bercanda di masa sekarang.
Lain halnya dengan Abdul Kahar Muzakkar alias La Domeng, tokoh sentral DI/TII di wilayah Makassar, Sulawesi Selatan. Dia adalah pendiri tentara nasional di wilayah Sulawesi Selatan. Semaa muda, ia mendirikan Organisasi kepemudaan di Jakarta hingga membawanya untuk ikut hadir dalam mengawal rapat raksasa di lapangan Ikada, 19 september 1945. Namun takdir berkata lain, Kahar Muzakkar yang berpangkat terakhir Letnan Kolonel di tembak mati pada 2 Februari 1965 oleh instansi yang membesarkan namanya yaitu TNI.
Tentunya masih banyak kisah-kisah perjuangan heroik tokoh-tokoh bangsa seperti Daud Beureu’eh, Andi azis, Ibnu Hajar hingga presiden yang terlupakan, Syafruddin Prawiranegara. Dan dari semua tokoh pejuang (saya menyebutnya pejuang karena mereka berjuang untuk kemerdekaan Indonesia pada masanya) itu banyak di antaranya adalah ahli strategi perang gerilya. Nah, sekarang pertanyaannya, layak kah kita menyebut mereka sebagai tokoh pemberontak hanya karena beda ideologi perjuangan dikemudian hari. Mereka semua bercita-cita untuk membangun Indonesia ke arah yang lebih baik tapi kurang direstui oleh penguasa kala itu yaitu Soekarno. Kita perlu mencari alasan mengapa mereka “berontak” bukan menghakimi mereka sebagai pemberontak.  



Comments

Popular posts from this blog

(Karena) Lelaki itu Tukang Olah

Jampok

Bansa Teuleubeh +