Kisah kasih Sejarah
Sejarah adalah suatu bidang ilmu yang kadar
sunjektifitasnya sangat tinggi. Seajarah ditulis kebanyakan untuk kepentingan
suatu kelompok saja, bahan propaganda juga untuk melegitimasi kekuasaan yang
berkepanjangan. Sejarah juga banyak digunakan untuk kendaraan politik para
pemilik perintah untuk menunjukkan taring pada masyarakat bawah. Dan kita
masyarakat biasa hanya bisa menerima tulisan sejarah itu tanpa menyelidikinya
lebih lanjut.
Pernah suatu ketika, beberapa muris saya menanyakan
tentang sejarah perjuangan (kalau tidak ingin mengatakan pemberontakan) GAM. Spontan
saja saya bertanya balik kepada mereka, “Kalian mau mendengar sejarah versi
siapa? Indonesia kah atau pun dari
sudut pandang masyarakat aceh?”. Tentunya pilihan menetukan versi akan serta
merta membuat kisah yang mereka dengar akan berbeda. Kisah perjuangan heroik
berbanding dengan label pemberontak. Dua poin yang mempunyai jurang pemisah
yang sangat curam.
Kisah pengalaman saya di atas mungkin hanya dari
sebagian kecil cara melihat dan mengetahui sejarah itu dikisahkan. Kita, selaku
putra bangsa sudah barang pasti mengikuti pelajaran Sejarah sejak sekolah
menengah tingkat pertama hingga tingkat atas. Paling kurang 6 tahun kita disuguhi oleh berbagai kisah pemberontakan pada awal kemerdekaan Indonesia. Contohnya
saja pemberontakan (sebagaimana ditulis dalam buku sejarah SMP dan SMA) DI/TII
di berbagai daerah Republik Indonesia Serikat. Di sana tertulis jelas actor-aktor
kawakan yang menabuh genderang perang. Mereka bukan orang yang sembarangan. Mereka
bukan orang awam yang tidak pernah mengecap pendidikan tinggi. Mereka adalah
orang-orang yang bahu membahu
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia hingga sampai pada pembacaan proklamasi
oleh Soekarno.
Sebut saja Sekarmadji Marijan Kartosuwiryo, tokoh
taktik perang asal Jawa Barat yang tanpapatah arang meramu strategi gerilya
hingga ikut andil dalam perumusan Piagam Jakarta. Dan banyak di antara kita
tidak pernah tahu jika Soekarno (sebagai pemegang tongkat komando penumpasan
DI/TII) adalah sahabat karib Sekarmadji Marijan Kartosuwiryo ( Pendiri NII). Semasa
keduanya masih di didik oleh Haji Omar Said Cokroaminoto ( Tokoh Syarikat
Islam), mereka bahkan tidur sekamar, dan saling ledek meledek apabila ada yang
kurang pas, layaknya anak muda yang sering bercanda di masa sekarang.
Lain halnya dengan Abdul Kahar Muzakkar alias La
Domeng, tokoh sentral DI/TII di wilayah Makassar, Sulawesi Selatan. Dia adalah
pendiri tentara nasional di wilayah Sulawesi Selatan. Semaa muda, ia mendirikan
Organisasi kepemudaan di Jakarta hingga membawanya untuk ikut hadir dalam mengawal
rapat raksasa di lapangan Ikada, 19 september 1945. Namun takdir berkata lain, Kahar
Muzakkar yang berpangkat terakhir Letnan Kolonel di tembak mati pada 2 Februari
1965 oleh instansi yang membesarkan namanya yaitu TNI.
Tentunya masih banyak kisah-kisah perjuangan heroik tokoh-tokoh
bangsa seperti Daud Beureu’eh, Andi azis, Ibnu Hajar hingga presiden yang
terlupakan, Syafruddin Prawiranegara. Dan dari semua tokoh pejuang (saya
menyebutnya pejuang karena mereka berjuang untuk kemerdekaan Indonesia pada
masanya) itu banyak di antaranya adalah ahli strategi perang gerilya. Nah,
sekarang pertanyaannya, layak kah kita menyebut mereka sebagai tokoh
pemberontak hanya karena beda ideologi perjuangan dikemudian hari. Mereka semua
bercita-cita untuk membangun Indonesia ke arah yang lebih baik tapi kurang
direstui oleh penguasa kala itu yaitu Soekarno. Kita perlu mencari alasan
mengapa mereka “berontak” bukan menghakimi mereka sebagai pemberontak.
Comments
Post a Comment