Just Because Everythings Changing part III

“Ketika tiba saat perpisahan janganlah kalian berduka, sebab apa yang paling kalian kasihi darinya mungkin akan nampak lebih nyata dari kejauhan - seperti gunung yang nampak lebih agung terlihat dari padang dan dataran.”

Image : www.urbanlinemag.com
Syarifah memang nama yang indah. Kebanyakan di pakai oleh orang orang yang katanya keturunan sahabat pada masa Nabi Muhammad SAW dulu. Tapi Syarifah ini sangatlah berbeda, Ia bukanlah keturunan dari orang-orang tersebut. Ia hanya wanita biasa yang terlahir dari keluarga yang biasa pula. Ayahnya sudah meninggal ketika dia baru memasuki usia 14 tahun. Saat itu ia duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Kira-kira pada saat kelas 2. Seperti kebanyakan orang, dia sangat terpukul apalagi  harus  kehilangan  seorang ayah, sosok yang selalu memberi semangat hidup kepada nya.

Ketika itu Syarifah masih belajar di sebuah pesantren yang terkenal di daerahnya. Pesantren tersebut telah mencetak banyak mutiara penerus bangsa yang setia mengabdi untuk kemajuan bangsa ini. Mungkin karena alasan itu, Syarifah di kirim ke pesantren itu untuk mengikuti jejak para muda atau mudi lain sehingga kelak bisa berguna untuk kehidupan di masa depan. Pada saat ia hadir di pesantren ini, Syarifah sangat tidak betah. Pesantren ini terletak di pinggiran sungai dan kerap kali, apabila tidak ada pasokan air dari PDAM setempat terpaksa harus mandi di sungai yang kotor itu. Syarifah sangat membenci keadaan tersebut, karena ia belum pernah sekalipun merasakan hidup di pengasingan seperti tahanan yang di kekang tangannya. Ia sempat putus asa dan ingin hijrah ke sekolah yang biasa saja, kan lumayan bisa menghemat biaya, bisa jumpa dengan orangtua setiap hari, dan lain sebagainya.

Di sinilah sosok ayahnya (sebelum meninggal) yang selalu memotivasi jiwa anak kesayangannya itu. Hampir setiap keluarganya mengunjungi Syarifah, ayah memberi wejangan singkat dan beberapa kata-kata hikmah supaya Syarifah bisa bertahan dalam situasi yang tidak karuan ini. tidak berhenti di situ saja, ayahnya juga sering mengiming-iminginya dengan kehidupan yang lebih baik jika ia sanggup bertahan di penjara ini.

“Kelak kamu kan menjadi wanita yang tangguh apabila kamu bisa bertahan dalam kondisi ini,Nak,” bisik ayahnya sambil mengusap kepala Syarifah.
“Kamu harus bertahan di sini, ya, paling kurang selama 3 tahun saja, Ok,” Tambah ayahnya lagi.
“Iya Yah, Ifa kan berusaha kok, semoga saja Ifa sanggup ya, Ayah,” jawab Syarifah sambil berlinang airmata.

Memang setiap kali datang kunjungan orangtuanya, hampir tak pernah absen air matanya keluar terburai tanpa ada undangan. Maklumlah, masih sangat belia saat itu. Walaupun berat, Syarifah harus tetap tegar menghadapi cobaan ini karena ia tak mau menyakiti hati ayah tercintanya.
            ***

Image : forum.indowebster.com
Enam tahun sudah ia menimba ilmu di pesantren tersebut. Lebih lama dari perjanjian awal dengan ayah tercintanya. Hanya masalah waktu saja, ia berhasil melewati rintangan tersebut. Terbukti ia tidak lagi mengeluh dan manja seperti anak-anak yang lain seusianya. Ia sekarang terlihat lebih kuat daripada 5 tahun yang lalu pada saat ia baru beberapa bulan di pesentren yang megah itu.

Ayahnya mungkin tersenyum puas melihat gadisnya itu tumbuh seperti yang di harapkannya selam masa hidupnya. Walaupun sekarang ia tak dapat lagi memberi  pelukan hangat, tapi paling tidak anak yang di didiknya selama  ini bersinar bak bulan purnama di tengah pekatnya awan hitam kesunyian.
 ***

Setelah lulus dari pesantren, ia melanjutkan studinya di salah satu institute terkemuka di kotanya. Saat itulah Syarifah mengenal dengan beberapa teman baru termasuk Aku. Pada saat Aku pertama kali mengenalnya, ia termasuk golongan manusia-manusia yang irit kata-kaata. Tak banyak suara, hanya asyik bercengkrama dengan handphone yang setia menemani genggaman manisnya. “Entah apa yang di cari di hp  kan sama ajah setiap saat kita melihatnya” pikirku dalam hati.
            
Yang lebih celaka lagi, suatu kali pada saat pembagian kelompok belajar dari salah satu dosen, tercantumlah nama Aku dalam kelompok Syarifah. “Astaghfirullah, Ampun Tuhan,” hatiku mengguman seolah tak menyangka mengapaku harus ditakdirkan untuk berurusan dengan spesies Antartika ini. Tak sudi diriku berbagi ilmu dengan makhluk ini,Tuhan.
***

Awalnya aku memang sangat muak dengan tingkah polah makhluk ini, apalagi saat harus mempresentasikan tugas kelompok. Tidak ada kontribusi yang menonjol dari Syarifah. Entah ia benar-benar pendiam atau bisa jadi ia tidak bisa apa-apa. Terpaksalah teman-teman lain yang harus menangani tugas dia di dalam kelompok.

Setelah melewati satu semester perjalanan kuliah, aku mulai bisa menerima tingkah polah yang di sadurkan Syarifah. Lama-kelamaan ia pun bisa merubah pandangan  hidupnya dan mulai berbaur seperti mahasiswa lainnya. Namun demikian, aku juga tidak terlalu dekat lagi setelah kelompok mata kuliah itu berakhir. Selain ingin menghindari pertentangan bathin dengan sosok aneh ini, aku juga sudah dekat dengan anak-anak lain yang jauh lebih bisa membuat aku berbagi pendapat. Itulah kehidupan awal dari aku bersama Syarifah dua tahun yang lalu. Aneh ya. 


           


Comments

Popular posts from this blog

(Karena) Lelaki itu Tukang Olah

Jampok

Bansa Teuleubeh +