Malam Minggu dan Semangkuk Bakso.
Hujan masih terlalu lebat untuk dihadapi. Walaupun
hanya gerimis sedang, tapi cukup untuk melahirkan virus dan bakteri penyebab
flu untuk kadar manusia seperti Jihan. Jihan gadis berperawakan tinggi besar
yang mala mini mengajakku keluar untuk mencari suasana yang sedikit berbeda. Kami
sebenarnya sudah lama juga tidak keluar bareng. Biasanya dia keluar dengan
pasangannya, tapi entah ada angin ribut apa, dia mengajakku keluar malam ini.
“Malam ini kau temani aku keluar,” begitu katanya.
Seperti biasa, aku langsung mengiyakan ajakannya. “Ok,
sip, jemput,” jawabku singkat padat nan jelas tanpa bertanya kemana dan untuk
apa.
Tepat pukul 09.00, dia menjemputku. Dari jauh sudah
terdengar suara motor saktinya yang meraung-raung. Dia memang seorang perempuan
namun perkasa. Maklum saja, temannya lelaki semua termasuk aku. Tentang teman
perempuan, hanya satu dua saja. sesaat kemudian ia dan motornya berdiri tepat
di depan serambi rumahku.
“Ini kunci, bawakan,”Jihan berkata. Aku memang sudah
sangat paham dengan sifatnya, cepat tepat dan tegas. Ku raih kunci dari
tangannya, langsung ku tancap gas. “Jangan tinggalkan aku, Penjahat,” sambil
menarik kerah bajuku. Dia sering memanggilku Penjahat, karena ibuku penjahit,
ayahku penyakit.
***
Di sepanjang jalan, seperti biasa, banyak pasangan
yang hilir mudik di sana sini sambil berpelukan hingga berciuman. Bagaimana dengan
kami? Jangan pernah tanyakan pertanyaan itu, karena pertanyaan itu tidak
penting. Tujuan kami jalan-jalan biasanya untuk melihat mereka yang pacaran,
pelukan dan lain sebagainya. Bukankah kami juga berpasangan? Tepat sekali, tapi
tidak mainstream. Jalan berpasangan tapi professional menjalankan tugas.
Setelah setengah perjalanan, tiba-tiba Jihan mengubah
rencana, tidak melanjutkan “misi” pribadi.
“Malam ini kita beli hadiah untuk ulang tahun temanku
dulu. Bila sempat barulah kita lanjutkan misi kita ya, Penjahat.” Aku langsung
memutar kendali mencari toko kue yang masih buka pada saat itu. Setelah melihat
beberapa kue, akhirnya Jihan membeli kue yang bergambar animasi Frozen di atasnya.
Dia jarang sekali meminta pendapatku tentang apapun, kecuali soal pakaian.
Jadi cerita tentang semangkuk baksonya mana? Tunggu
dulu, masih belum sampai ke sana. Aku dan Jihan masih di toko kue, tidak
mungkin kan di toko kue ada bakso?
***
Berselang beberapa saat setelah keluar dari toko kue,
hujan pun semakin deras. Aku mulai gemetaran melawan hujan yang semakin
menjadi-jadi di ikuti angin kencang. “Menepi sajalah dulu,” pinta Jihan sambil
(lagi-lagi) menarik kerah bajuku. Kali ini aku tidak mengindahkan ajakan dia.
“Hujan, ya nikmati saja. Jarang-jarang bisa hujan-hujanan seperti anak kecil
kan?” balasku padanya. Kecepatan motor mulai ku turunkan karena jarak pandang
semakin tidak menentu. Dan secara kebetulan, beberapa meter di depan ada
penjual bakso. Tentunya bukan bakso mas bokir yang di beli Suzanna di kala
hujan. Tidak ada unsur mistis.
Comments
Post a Comment