Ra, Dengarkan Saja III
Kau sudah mengantuk, Ra? Jangan tidur dulu, boleh? Aku punya cerita malam ini, anggap saja dongeng pengantar tidurmu. Ceritanya sedikit lucu, bukan kisah cinta masa remaja, yang biasa kita sebut cinta monyet. Bukan tentang itu. Ini tentang perkenalanku dengan dua remaja dan seorang gadis dari negeri Hayati. Negeri itu lho, yang filmnya kau tonton berulang-ulang sambil komat kamit menirukan kata-katanya. Kau tentu tahu dimana negeri itu, bukan?
Maka bermula kisahnya ketika aku memulai studi ku. Ku ceritakan dulu tentang dua remaja ini. Satu perempuan dan yang satunya lagi adalah lelaki. Sudah boleh di sebut lelaki, mungkin, kala itu. Ya, benar saja, mereka berdua, sepasang. Mereka adalah orang yang menurutku hebat di bidang masing-masing. Ku ceritakan dulu yang perempuannya. Perempuan gila menurutku. Gila dalam segala hal, ku rasa. Betapa tidak, dia mempunyai suara yang menurutku tidak sesuai dengan postur badannya. Suara besar dengan perawakan kecil. Benar-benar tidak sesuai bukan? Ia penyuka seni, juga dalam hal pelajaran. Pernah ku dengar dia memegang predikat nilai tertinggi di angkatanku, pada suatu masa. Dia adik yang baik dan sering berdiskusi denganku. Tentunya tentang apa saja, baik itu tentang seni, sosial, juga hal-hal yang pribadi, yang mungkin tidak diketahui banyak orang.
Ra, kamu belum tertidur kan? Ra, kamu tahu tidak mengapa aku ceritakan tentang perempuan kecil ini padamu? Dia, perempuan ini, ku ceritakan bukan karena dia pandai dalam beberapa bidang ilmu, tapi dia satu-satu perempuan yang pernah menamparku di awal pertemuan kala itu. Dan aku sempat tertegun beberapa saat. Gila, pikirku saat itu. Aku tidak marah sedikit pun. Ku rasa itu hanya reflek semata. Marah? Tentu saja bukan kegemaranku. Setelah beberapa saat keadaan pun mulai mencair, ku nasehati dia dengan sebaik-baik nasehat. Apa dia berubah? Tidak. Selang beberapa waktu, aku yang balas menamparnya. Apa aku salah? Tidak juga. Dia berjanji untuk menerima tamparan balasan dariku, suatu waktu yang tidak di ketahuinya. Dan sudah ku tunaikan itu. Kami pun masih bersahabat seperti dulu. Salam kami, ya salam tampar, bukan salam tempel seperti di hari raya.
Ra, tolong ambilkan sedikit air untukku. Bergerak di malam hari itu bagus lho, Ra. Sambil kamu mengambil air, ku ceritakan tentang lelaki tadi. Ini bukan masalah tamparan atau hinaan, tapi ini jauh dari apa yang kamu pikirkan. Saat awal bertemu dengannya aku di beri label dengan sosok yang sombong nan angkuh. Sungguh bahaya bukan? Aku saja tidak berfikir sampai ke arah sana. Ah, sudahlah. Tidak mengapa ku rasa. Kamu tentu penasaran, bagaimana aku mengetahui tentang kabar ini. aku tidak mengada-ada. Ini berdasarkan pengakuannya sendiri lho, Ra. Dia mengaku, pada saat awal berjumpa, dia paling tidak suka melihatku. Mungkin karena aku yang pendiam dan tidak peduli terhadap keadaan sekitar. Mungkin saja begitu. Tapi tak mengapa, berkat kejadian itu aku bisa lebih peka dan mengambil I’tibar dari hal-hal yang demikian. Di sebalik itu pasti ada hikmahnya. Dan benar saja, menurut pengakuannya juga, aku sudah menginspirasinya untuk berbuat sesuatu yang lebih baik. Ku rasa itu sangat besar maknanya, walaupun aku hanya manusia biasa. Sungguh Alhamdulillah kan, Ra.
Ra, ini kisah terakhir tentang gadis dari negeri Hayati. Masihkah kau mau mendengarnya, Ra? Atau kita tidur saja? Lebih baik lain kali saja ku ceritakan tentang kisah “Hayati” ini. Karena ada cerita menarik yang tidak mungkin ku ceritakan sepatah dua patah saja. Ra, aku berjanji akan menepatinya pada waktu dan suasana yang tepat. Satu hal yang pasti, sebelum kita terlelap di buai mimpi, ketiga mereka adalah sahabat baik yang ada -tidak mungkin selalu- untukku. Selamat tidur, Ra.
Ra, i Loph yu
ReplyDeleteLain kali ceritakan juga tentang orang2 dr negeri para bedebah ya... 😫
ReplyDeletejelas sekali orangnya, saya pernah bertemu dan saya pernah melihat tamparan itu...
ReplyDelete