Ra, Dengarkan Saja


Adalah dia, Ra. Sekarang hanya dia yang bertumpah ruah bercampur menjadi ingatan-ingatan pilu menusuk setengah tangkai jantungku. Bukan sehari dua, aku merasakan kecamuk ini. Sudah sangat lama, 3 tahun kurasa tidak kurang. Kau tentu paham betapa pedih perasaan yang terkungkung pilu itu. Ku ingat, sudah pernah ku ceritakan padamu, Ra. Awal kami bertemu di bawah pinus rindang di kampus itu. Kala itu, dia masih tidak secantik sekarang, tapi sudah sangat cantik menurutku. Perempuan pada awal pertumbuhan sangat menarik, kau tentu pernah mengalaminya, Ra.

Namun sekali lagi aku ingin perjelas padamu, aku benar-benar kagum padanya. Bukan karena kecantikannya, tapi hatinya. Sekali waktu pernah ku mendengar dia bercerita pada temannya, “Aku benar-benar kotor,” begitu kira-kira kata-kata yang terlontar dari mulutnya. Dalam pikirku, berkata, “Kau begitu indah, meski kau masih kotor.” Tentang kagum ku padanya dimulai begitu saja. Ku lihat sekilas dan langsung jatuh kagum. Aku tak tahu alasan apa yang tepat untuk menerangkan perihal kagum ini.

***

Dua minggu setelah kita berjumpa hari itu, Ra, aku melihatnya lagi. Dia berdiri berkelakar ria. Masih di tempat yang sama. Pohon pinus yang sama, tapi dengan orang yang berbeda. Kali ini dengan seorang lelaki. Tingginya lebih dari tinngi aku, perawakannya lebih kurang sepertiku. Oblong biasa, dengan sandal yang menjepit kaki. Aku tak tahu siapa dia, tak pernah ku lihat sebelumnya. Ku coba menerka, tapi ku tak mampu sampai ke sana. Pun begitu, rasa kagumku masih bertambah tambah. Dua sampai tiga kali ku rasa.

Ra, kau masih mau mendengar cerita ku bukan? Kau kan sahabat aku, walaupun aku sering tidak perduli terhadapmu, tapi kali ini kau harus mendengar habis cerita ini. Cerita tentang kekagumanku pada gadis itu. Ku rasa tidak cukup sekali ku bercerita ini padamu. Jika kau bosan, Ra, kau bilang saja, jangan ragu. Ra, sekalipun kau bosan, tidak ada tempat lain bagiku untuk bercerita tentang ini dengan yang lain.

***

Ra, jangan kau tatap aku begitu, aku tahu kau cemburu. Hilangkan rasa itu, ini tidak ada sangkut-pautnya tentang perasaan kita di masa lalu, ini tentang masa depan aku, kamu dan si gadis itu. Kau tidak rela bukan, kita membohongi perasaan kita dalam ketidakpastian. Ku rasa kau paham itu, aku belajar banyak darimu.

Ra, kau pernah berujar, ceritakan segalanya padaku, walaupun iu sakit. Ya, kali ini aku hendak bertaruh jujur padamu. Ku tahu tak tertarik mendengarnya, tapi paksakan dirimu sejenak untuk cerita ini. Ra, kau masih mendengarkan aku kan. Atau pun ku cukupkan saja untuk sekarang, lain kali akan ku ceritakan lebih banyak lagi tentang hari-hari selanjutnya dengan gadis di bawah pohon pinus ini. Aku janji padamu, Ra.

Bersambung ke 
Ra, Dengarkan Saja II

Comments

Popular posts from this blog

(Karena) Lelaki itu Tukang Olah

Jampok

Bansa Teuleubeh +