Cerita (Dalam) Amplop

http://wardahart.blogspot.com/
Sambil membuka isi amplop yang ku sodorkan, Ummi sontak terkejut. Bukan apa-apa. Bukan karena calon menantunya kurang layak secara paras juga busana. Hanya saja, di dalam amplop itu Ummi melihat ada beberapa foto yang berbeda. 
Aku sengaja mengumpulkan beberapa foto yang ku anggap layak untuk di pilih Ummi sebagai calon istriku kelak. Setidaknya ada enam foto yang ku masukkan ke amplop itu. Dan ke enam foto itu adalah perempuan yang berbeda. Aku sudah menyeleksi mereka jauh-jauh hari. Ada yang bahkan sudah ku selidiki asal usulnya selama lima tahun lebih. Ada yang sudah belasan tahun bersama. Ada juga yang baru berkenalan beberapa bulan saja. Namun karena kriterianya cocok untukku, maka ku selipkan fotonya ke amplop keramat itu.

Ummi masih menggelengkan kepalanya. Beliau tidak pernah mengira aku akan berbuat sekonyol bin aneh itu untuk menentukan calon istri. Walau begitu terlihat raut wajah senang terpancar dari Ummi.

            “Bang, kenapa Ummi yang harus memilih calon istri untukmu?”
            “Karena mengharap restu Ummi,”
            “Jadi kenapa tidak Abang kenalkan saja satu orang yang cocok menurut Abang?”
            “Tapi akan lebih special jika Ummi yang pilihkan untuk Abang,”
            “Sesuai dengan kriteria Abang dan Ummi, tentunya.”

Ummi mulai melihat satu persatu foto calon istriku. Sambil membolak-balikkan foto itu, Ummi mulai mengurai tanya pada ku.

            “Ini cantik, namanya siapa Bang?
            “Oh, itu Dek Maulina. Adik kelas abang. Sudah tiga bulan berkenalan. Dia orang jauh”.
            “Kesehariannya gimana. Bang?
            “Sehari-hari ya kuliah lah Ummi”.
            “Bukan itu maksud Ummi. Maksud Ummi bagaimana kepribadian Dek Maulina mu ini,                        Bang?”
            “Owh, anaknya baik, ramah,santun juga peduli terhadap teman-temannya. Sering ikut majlis pengajian juga, Ummi”
            “Keluarganya bagaimana?”
            “Dek Maulina punya dua saudara laki-laki. Orangtuanya juga punya pengaruh di tempatnya.
            “Seingat Ummi, dia belum pernah ke rumah kita kan Bang?”
            “Belum, Ummi. Karena dia harus selalu minta izin pada orangtuanya kalau mau ke tempat yang jauh. Rumah kita kan jauh Ummi”.
            Ummi hanya manggut-manggut saja mendengar penjelasanku. Lalu Ummi menghambil foto kedua. Sepertinya Ummi sangat familiar dengan foto yang satu ini. Ummi memang telah mengenal calon menantunya ini sejak kanak-kanak. Namanya Rahmi. Aku memang memilih karena sudah kenal sejak usia kanak-kanak. Ku ceritakan sedikit, ketika sekolah dulu kami sering pulang sekolah bareng. Sering bermain kejar-kejaran bareng. Mungkin saja kebersamaan yang sudah lama terjalin, aku berani memilih dia untuk calon istri masa depan.
            “Sepertinya Ummi butuh penjelasan yang sangat khusus untuk calonmu ini, Bang”.
            “Alasan pertama, Abang sudah mengenalnya sejak belasan tahun lalu. tentunya Ummi       tahu itu. Selain itu juga, dia juga dekat dengan kita. Dan kita punya satu kultur yang    sama".
            “Alasan lainnnya, Bang?”
            “Rahmi itu cinta pertama abang ketika masih di bangku taman Kanak-Kanak, Ummi”.
            “Dan Rahmi juga sudah sering datang ke rumah kita. Sudah banyak mengenal bagaimana keluarga kita. Abang juga tidak pernah luput untuk ke rumahnya ketika sekali-kali abang pulang kemari”.          
            Foto ketiga sekarang mulai di tatap Ummi. Belum ada pertanyaan  yang terlontar dari Ummi. Aku sedikit penasaran. Apakah Ummi sangat menyukai gadis yang di foto itu. Ataupun dengan tidak mengeluarkan sepatah kata pun itu pertanda ketidaksetujuan. Untuk apa buang kata-kata, kalau memang tidak pas di mata. Lebih baik di lewati saja.
            “Ummi tidak harus menanyakan tentang dia lagi kan?
            Benar seperti dugaanku. Ummi kurang berkenan dengan sosok perempuan di foto itu. Namanya juga tidak perlu aku sebutkan, karena Ummi sudah jauh-jauh hari melarangku untuk berhubungan dengannya. Sebenarnya aku mengenalnya sangat baik. Empat tahun lebih aku menjalin pertemanan bersamanya. Aku masih teringan ketika awal perjumpaanku dengannya. Kepribadiannya sedikit di  atas rata-rata. Hyperactive. Begitulah gambaran yang tepat untuknya.
            Sekali waktu, dia pernah ku bawa kerumahku. Entah mengapa, penerimaan dalam keluargaku sangat di luar dugaan. Tidak ada hal yang luar biasa. Bahkan sangat kurang. Dibandingkan ketika ku bawa teman-teman perempuan lainnya yang berstatus sebagai teman biasa. Entahlah. Pokoknya aku sudah memperkenalkannya sebagai calonku. Dan Ummi tidak setuju dengan menolaknya mentah-mentah.
            Setelah foto ketiga tidak lolos seleksi Ummi, aku mulai ragu dengan foto ke empat. Ummi beberapa kali memolak-balikkan foto ke empat tersebut. Sekali-kali kau menggaruk kepala. Gugup, deg-degan bercampur penasaran.
            “Ini ustazah darimana?”.
            “ Itu kakak kelas Abang, Mi”.
            “Kakak kelas? Berapa selisih umurnya?”
            “Setahun dua bulan, Ummi”.
            “Dia ustazah dimana?”
            “Namanya Nurul. Alumni salah satu pondok pesantren terkenal. Sekarang mengajar           di balai pengajian bekas pondoknya. Baru saja wisuda tahun lalu”.
        “Selain mahir membaca kitab kuning, Nurul juga sudah meraih predikat sarjana sebagai     titelnya”.
       “Sepertinya ini cocok. Umur bukan menjadi kendala. Asalkan bisa saling pengertian dan   menempatkan diri. Ummi sama sekali tidak mempermasalahkan umur kalian”.
       Sebenarnya aku merasa malu ketika mempernalkan Nurul sebagai calonku. Tentunya tentang umur yang terpaut lebih tua Nurul. Aku takut kalau Ummi tidak setuju karena Nurul yang ketuaan. Namun keadaan dan keputusan berbicara lain. Ada lampu hijau dari Ummi untuk Nurul, jika aku berumah tangga dengannya nanti.



Comments

Popular posts from this blog

(Karena) Lelaki itu Tukang Olah

Jampok

Bansa Teuleubeh +