Misteri Purnama
Aku
masih terduduk di kamar. Ditemani beberapa gelas air, juga mie instan. Sambil
menulis beberapa paragraf di muka lembaran Microsoft
word. Lagu sendu Malaysia juga terdengar nyaring menghentak sunyinya malam.
Sambil sesekali menyeruput kopi favoritku, aku masih memainkan jemariku di atas
keyboard laptop.
Pikiranku
masih menerawang ke awang-awang. Terlihat beberapa wajah kali ini. ada wajah
keluarga, wajah teman-teman. Tak luput pula beberapa wajah calon suami. Untuk
wajah calon suami, buru-buru pikiranku menghapusnya secara paksa. Entah kenapa?
Aku juga bingung. Mungkin belum saatnya untuk ku pikirkan lagi. Aku mengamati
sekelilingku, kebetulan di sana, mataku melihat sebuah buku. Buku yang sudah
sangat lama, kurasa. Tapi aku enggan mengambilnya, lalu ku teruskan pekerjaan
menulisku.
Beberapa
lagu sendu kini pun lewat begitu saja. Tentunya lagu itu mengisyaratkan tentang
cinta. Aku berniat untuk merenungi beberapa bait lagu itu, namun aku mengurungkan
kembali niatku. Cinta, bagi aku itu hanya tentang urusan nafsu belaka. Detak
jarum jam pun semakin meninggalkan malam. Maka sampailah aku pada sebuah
ingatan yang begitu menggoda. Begitu asyik untuk diceritakan kembali. Ini tentang
purnama. Semua orang pasti tahu, apa itu bulan purnama, dan juga bagaimana
menikmati purnama itu sendiri. Hampir setiap insan akan merindui hadirnya
purnama di temani kerlip bintang gemintang berselimut awan cerah.
Aku
pernah beberapa kali menikmati purnama. Baik itu sendiri, dengan teman-teman,
juga dengan pujaan hati. Malam bulan purnama bagiku adalah tentang seni
menikmati indahnya malam. Dengan secangkir kopi hangat ditemani setumpuk
semangat berselimut dengan gurauan dan kasih sayang.
Dulu,
sekitar sepuluh bulan yang silam, sekali waktu aku dekat dengan seorang lelaki berperawakan
tinggi kekar. Wajahnya sungguh sadis. Ditandai dengan matanya yang ceking dan
urat ditengkoraknya sering timbul tenggelam. Yang berbeda darinya hanyalah suara.
Suara khasnya itu sangat menghipnotis indera pendengarku. Aku mulai terlihat
akrab dengannya. Walaupun kepribadiannya sedikit agak tertutup. Itu menjadi
sedikit tantangan bagiku dalam mendekatinya. Terbukti, semakin banyak hari yang
ku habiskan dengannya. Saking dekatnya, aku sempat diperkenalkan kepada
orangtuanya.
***
Setiap
kali munculnya purnama, dia selalu mengajakku untuk keluar bersama. Katanya,
untuk menikamati anugerah yang sangat terbatas dan berharga. Bagiku ini sangat
masuk akal. Karena hanya beberapa orang saja yang bisa memanfaatkan keadaan
dengan begitu romantisnya. Lainnya, bagi pasangan muda, banyak waktu bersama
yang dihabiskan di tempat-tempat yang mahal tapi tidak ada kepuasan bathin. Dan
menikmati purnama, bagiku sangatlah berkesan.
Malam
ini, kembali ia mengajakku keluar. Ada yang berbeda dengan malam ini. Biasanya
ia mengajakku keluar bersama, namun malam ini ia hanya mengajakku untuk melihat
purnama secara terpisah.
“Dik,
malam ini ada purnama. Keluarlah. Nikmatilah purnamamu dari depan rumahmu,”
begitu katanya. Aku tidak pernah menanyakan alasannya yang hanya menyuruhku
melihat purnama sendirian. Aku langsung keluar dengan berbalutkan selimut
tebal. Kebetulan malam ini sangatlah dingin. Mataku sangat berbinar ketika
menatap purnama. Seakan-akan, wajahku dan wajahnya bersatu dalam bulan yang
sama. Sesekali aku tersenyum sendiri. Aku tersipu malu. Dari kejauhan terlihat
juga, tangannya memberi lambaian dengan senyuman khas nan menggoda.
Sepuluh
menit sudah aku berdiri disini. Dibawah cahaya terang purnama juga temaram
bintang gemintang. Aku sangat menikmati suasana ini. Dan ku yakin pula ia
merasakan hal yang sama denganku. Jauh bukanlah suatu alasan untuk tidak bisa
menyatukan perasaan yang sama. Sebenarnya
aku mulai jatuh cinta padanya. Malam ini adalah puncak perasaan itu. Puncak
perasaan saling membutuhkan yang mengepung dada. Aku masih tersenyum-senyum
sendiri. Sambil memejamkan mata, aku membayangkan dia mengecupku dengan penuh perasaan
sayang. Purnama itu kini mulai menutup
cahayanya. Aku pun kembali masuk ke kamarku.
****
Faktanya, empat bulan lalu, hubunganku dengan
pecinta purnama itu berakhir. Dia pergi bukan karena kehendaknya sendiri. Ia
pergi karena ketetapan Tuhan. Dan malam aku menikmati purnama terakhir itu,
juga menjadi malam terakhir ia menikmati purnama bersamaku. Sekuat apapun aku
menahan airmata, aku tetaplah seorang perempuan yang mempunyai hati nurani. Di
saat aku mulai merajut asa, dia pergi meninggalkanku selamanya. Tapi ya
sudahlah. Aku hanya mengambil hikmahnya saja.
Tidak
terasa, jam pun sudah menujukkan pukul empat pagi. Mataku mulai dilanda kantuk.
Tapi pikiranku masih menerawang. Aku mengambil buku tadi. Buku yang tergeletak
di sudut ruangan kamarku. Aku mulai membacanya. Membaca sebuah tulisan si
pecinta purnama. Setahuku, tulisan itu ditulisnya dengan tanpa sengaja. Aku
membaca dengan seksama.
Dear teman, malam ini aku akan
selalu mengingat kamu. Mengingat kisahmu dan aku. Mengingat kisah kita bersama
purnama di penghujung malam. Menikmati cahaya anggun nan ayu yang terpendar di
balik wajahmu. Kita memang tidak tahu kapan ini berakhir. Mungkin juga
sekarang, malam besok, lusa, atapun di kesempatan purnama bulan depan. Kita
tidak tahu semuanya itu.
Teman, kita hanya ditugaskan untuk
menikmatinya. Menikmati setiap sudut hidup yang sedemikian berharganya. Ada kalanya
kita sendiri. Berdua. Bersama. Tapi yakinlah akan satu hal teman, kita tetap
akan menikmati purnama yang sama. Purnama yang selalu hadir disudut malam
bersama gemintang yang takkan pernah padam.
Teman, jangan pernah menyesal,
karena aku juga akan hadir dalam cahaya purnama itu. Kau dan aku. Kita masih
bisa menikmati purnama yang sama. Di sini, di salah satu sudut hati di ruang
rindu. Yakinlah itu, Teman.
Airmataku
menetes pelan-pelan. Lamat-lamat aku pun terlelap dalam nyanyian kisah sendu
dimalam itu. Terima kasih teman. Terima kasih, Pecinta Purnamaku untuk
malam-malammu bersamaku.
Merindukan purnama yaa :D
ReplyDeletegreat!
lanjutkan.....:D
Si cewek itu rindukan purnama nya bang :D
ReplyDelete