Selendang Syariah

Image : inbandaaceh.com
“Kamu gadis Aceh kan?”
Tiba-tiba suara itu muncul terdengar jelas dari belakangku. Ada yang menegur. Aku tidak tahu siapa. Aku penasaran mengapa sosok lelaki itu tahu aku berasal dari Aceh. Aku pura-pura tidak mendengar lalu bergegas pergi. Menghindari sesuatu yang tidak aku inginkan tentunya. Namun usahaku gagal. Lelaki itu pun ikut mengejarku. Ia akhirya berhasil menghentikanku.
“Halo, kenalkan namaku Andrian. Andrian Putra Laksamana. Suku Jawa asli. Tapi sedikit bertabrakan dengan genetika Aceh juga, dari moyangku. Makanya namaku diakhiri dengan kata Laksamana. Konon katanya moyangku seorang marinir Aceh yang terdampar di pulau Jawa.”
Aku tidak tahu apa yang ada di benaknya. Mengapa dia mengejarku? Dan mengapa pula ia ngebet untuk berkenalan denganku? Aku belum sempat mengeluarkan sepatah katapun. Aku masih kaku, sambil menyusun rencana untuk menghindar lagi. Belum sempat aku menyiasati rencana, dia kembali membuyarkannya.
“Nama kamu siapa, Dek Nong[1]? Berapa lama kamu akan tinggal di kota ini? Apa ada saudara di sini?” Aku terpaksa menjawab, “ Namaku Mutia bukan Dek Nong, orang Aceh asli tanpa campuran darah manapun kecuali Cina dan India. Aku ke sini untuk liburan. Mungkin untuk seminggu saja. Aku sudah menyewa kamar hotel untuk seminggu. Namanya saja liburan. Cukup?” “Oke Mutia, terima kasih. Kita makan dulu, aku traktir. Karena setiap darah Aceh itu satu tubuh, tidak ada beda. Harus saling membantu.”
Suasana mulai mencair, aku pun mengikutinya mencari rumah makan terdekat. Akhirnya sampai juga ke tujuan kami. Sebuah rumah makan sederhana, namun sangat terkenal di kota itu. Harga makanannya supermurah jika dibandingkan dengan harga seporsi makanan di tempatku, Aceh.
Setelah santap siang, aku di antar oleh Andrian ke kamar hotelku. Aku belum sempat menanyakan perihal kemampuannya membaca perawakanku sebagai orang Aceh. Namun aku sempat bertukar nomor handphone untuk komunikasi selanjutnya. Dia pun berlalu. Perlahan tubuh tingginya hilang ditelan keramaian.

            ***
Beberapa hari selanjutnya, aku masih menunggu kabar dari Andrian. Setidaknya dia mengajakku jalan-jalan melihat-lihat suasana kota yang belum banyak di jamah oleh turis sepertiku. Namun kabar itu tidak kunjung tiba. Walaupun aku tidak ambil pusing. Aku sudah mengatur itenary sendiri untuk seminggu aku di sini di kota ini.
Hari-hari ku habiskan sendiri disini. Seperti para backpacker kebanyakan, kamera dan peta adalah sahabat yang paling dekat. Aku menjelajah ke seluruh kota, juga pantai yang sudah banyak dikunjungi oleh turis lokal maupun manca negara. Tidak kurang dari sepuluh tempat bersejarah aku perawani dengan kameraku. Semua habis, tidak tersisa.
Setelah seminggu, tibalah waktu ku untuk pulang ke tanah rencong. Aku sudah bersiap-siap mengemas barangku. Semua sudah ku masukkan ke koper. Ada beberapa buah tangan yang masih tergeletak di luar. Satu koper besarku seakan tak kuat menahan muatan yang overload. Tiba-tiba ponselku bergetar. Rupanya pesan singkat dari Andrian.
“Terima kasih sudah mengunjungi kota kami, semoga berakhir dengan menyenangkan. Dan jangan lupa,  tolong jemput aku pukul 20.30 di bandara Aceh. Tepat di hari sabtu pekan depan. Terima kasih, Mutia. Have a nice flight.” Aku hanya mengetik tiga suku kata sebagai balasan ku, “Iya, Thanks, Pasti.”
Aku tidak mengerti bagaimana jalan pikiran Andrian saat itu. Aku juga tidak mengenal dia lebih jauh. Yang ku tahu hanya dia seorang pemuda yang ku jumpai di bandara. Yang tiba-tiba memanggilku. Dan kebetulan dia tahu daerah asalku. Dan sekarang ia berpesan untuk menjemputnya di bandara Sultan Iskandar Muda pekan depan. “Ah, peduli amat,” pikirku.
Akhirnya barangku selesai ku kemas semua. Aku berlalu merebahkan tubuh lelahku di kasur hotel untuk terakhir kalinya. Walapun hanya untuk tiga jam saja. Karena aku harus berada di bandara pada pukul empat pagi untuk check-in.
            ****
Hari ini adalah hari sabtu. Hari dimana Andrian menyuruhku untuk menjemputnya di bandara. Tapi sampai saat ini belum ada tanda-tanda akan kedatangannya. Tidak ada getaran pesan singkat apalagi deringan telepon yang keluar dari ponselku. Setidaknya, kalau dia tidak datang, sudah menghilangkan beban kerepotanku untuk menjemput dia.
Aku masih berfikir positif. Dan sisa waktu masih tiga jam sebelum waktu kedatangannya seperti isi pesan singkatnya dua minggu yang lalu. jauh dalam hati nurani, aku berharap dia tidak datang. aku berharap dia hanya bercanda atas kenekatannya untuk datag ke tanah rencong. Dan jikapun ia berbohong, aku tidak akan mendendam. Karena kedatangannya tidak ku harapkan sama sekali.
            ****
Jam tanganku menunjukkan pukul 20.30. belum ada tanda-tanda kedatangan tamu istimewa nan aneh itu. Aku mulai berperasaan lega. Dalam kelegaanku aku tetap menunggu informasi darinya. Pukul 22.00. Sudah satu setengah jam aku menuggu. Tidak ada tanda-tanda kedatangannya. Aku pun berlalu sambil mengunci pintu gerbang dan garasi rumahku.
Akhirnya do’aku dikabulkan Tuhan. Dia tidak datang ke Aceh. Dia juga tidak akan merepotkan kehidupanku selama berada disini. Sudah barang tentu, kalau dia datang kesini, aku menjadi supir pribadinya sebagai mana kemauannya. Walaupun dia orang baru, tidak mungkin aku menolak permintaannya. 
            ****
“Tolong jemput aku. Besok pukul 05.30 setelah shubuh di maskot kebanggaan kalian, masjid Baiturrahman. Jika pun shubuh berjamaah, itu lebih bagus.”
Pesan singkat itu membangunkanku dari kelelapan. Di ujung kalimat sms nya tertera pukul 04.30. aku yakin dia belum sempat tidur di hotelnya. Ataupun dia menjadi gelandangan instant ketika tiba di Aceh. Aku bergegas ke kamar mandi lalu bersiap untuk menjemput tamu aneh dari pulau seberang.           
Aku tidak tahu, mengapa rasa takut tidak pernah menyerang bathinku. Sebagai seorang perempuan, aku sepatutnya berhati-hati dengan lelaki manapun yang baru ku kenal, apalagi dari negeri yang dulunya sangat kami musuhi. Sebagai daerah yang menerapkan syariat islam, aku patut menjaga norma-norma agamaku. Taat pada peraturan yang berlaku.
            *****
Setelah shalat shubuh berjamaah, aku mengambil ponsel untuk menghubungi Andrian. Namun langkahku terhenti karena sms darinya mendahuluiku. “Jumpai aku di bawah menara masjid. Aku menunggu di sini.”
Saat ini aku belum berpikiran yang macam-macam. Begitu banyak kelakuan aneh yang di hadapkan oleh andrian padaku. Tapi keanehan itu belum menggoyahkan aku untu menyerah. Sekarang aku mulai berfikir untuk masuk dalam permainan teka-tekinya ini. berusaha menyelami sejauh mana ia mampu bermain-main denganku, gadis Aceh yang perkasa.
Di bawah temaram lampu taman, aku melihat sosok yang tidak asing bagiku. Ya. Andrian teman anehku yang ku jumpai di bandara, tiga minggu yang lalu. aku berusaha berusaha untuk menyapanya duluan, tapi lagi-lagi, aku di dahului oleh sapaannya.
“Assalamu’alaikum, Mutia,”
“Wa’alaikum salam, Andrian. Pukul berapa kamu tiba? Kenapa kamu tidak menghubungiku semalam? Aku pikir kamu tidak kamu batal menginjakkan kaki di bumi moyangmu ini.” “Bukannya aku tidak berniat menghubungimu. Namun peraturan negerimu yang menghalangiku untuk memberitahumu perihal kedatanganku.” “Mengapa demikian? Kan, tidak ada peraturan perihal dilarang berkomunikasi sesama teman. Kamu ini aneh sekali kok?” “Bukan begitu, Mutia. Aku Cuma tidak ingin merepotkan kamu semalam. Sekarang bawa aku jalan-jalan. Aku pernah melihat kalau matahari terbit di balik gunung Seulawah itu sangat indah. Aku mau melihat keindahan itu.”
Aku termenung.
“Mengapa dia tahu kalau matahari pagi di kota ini keluar dari balik gunung Seulawah?”
“Ayo cepatlah. Jangan termenung lagi, ini sudah mau terbit mataharinya, Mut.”
Lalu aku dan Andrian menuju parkiran mobil. Dengan sedikit terburu-buru, aku mengemudi mobilku menuju Darussalam, tepatnya di bawah jembatan Lamnyong. Walaupun sedikit berpasangka aneh, tapi aku belum berniat untuk menaruh curiga pada Andrian. Aku masih menikmati permainannya.
            ****
Sekitar tiga puluh menit aku menghabiskan waktu bersamanya di bawah jembatan lamnyong. Menikmati sunrise bersama tamu istimewa nan aneh ini. Andrian juga tidak lupa mengambil beberapa gambar sunrise yang sedang menyinsing dari lekukan indah gunung Seulawah. Sangat indah. Mengkilap memancarkan warna keemasan.
Andrian lalu menyudahi mengambil foto. Terlihat ia sibuk mengemas kamera dan tripodnya. Lalu ia menuju ke arahku. Sembari memberi isyarat kalau ia ingin makan. Aku tahu, dia pasti kelaparan. Setidaknya dia sudah menahan lapar selama delapan jam. Lalu aku menghidupkan kembali mobil lalu menuju warung kopi untuk menjamu Andrian.
            ****
Setibanya di warung kopi favoritku, aku langsung memesan nasi dan juga segelas kopi. Lalu  kami pun mencari tempat duduk yang cocok. Akhirnya kami memilih untuk duduk di sudut sebelah timur menghadap ke jalan. Belum sempat aku membenarkan posisi duduk, Andrian sudah membuka pembicaraan. 
“Kamu  tahu, ini adalah pengalaman aku melihat sunrise yang kesekian kalinya. Ada yang lebih sempurna, sebenarnya. Sunrise kali ini biasa saja menurut aku. Namun yang luar biasa adalah melihat sunrise di negeri syariat dan di temani gadis berjilbab seperti kamu. Itu saja yang membuat sunrise kali ini istimewa.”
“Hanya itu saja tujuanmu kemari? Berapa hari akan kamu habiskan waktu di sini?” hatiku mulai memanas.
Dengan sesungging senyum menawan, Andrian menjawab, “aku kesini untuk dua hari, dan salah satu tujuannku ya itu tadi. Melihat sunrise dengan gadis berjilbab di negeri syariat”. “Bukankah di negerimu juga ada gadis yang berjilbab? Bahkan mereka lebih taat.
“Memang ada. Bahkan sangat banyak. Namun disana tidak ada aturan seperti disini. Bagiku tidak ada tantangan. Makanya aku rela terbang kemari untuk menantang peraturan kalian. Dan aku berhasil merampas momen itu dari tangan pemangku kuasa kalian”.
Sejenak aku terhenyuh dengan penjelasannya. “Begitu rendahkah kita dengan peraturan syariat kita atau kita harus berbangga dengan peraturan syariat kita?”
“Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Ini tambahan nasi untukmu. Aku tidak terlalu menikmati cita rasa nasi kalian. Kopinya saja yang membuat aku terkesima.”
            *****
Dalam perjalanan pulang, aku masih melamunkan tentang pernyataan Andrian tadi. Akan tetapi lamunanku terpecah ketika ia menyuruhku untuk memberhentikan laju mobil tepat  dibawah jembatan penyebrangan Lamprit. Lalu ia turun menuju masjid Al Makmur. Sebelum ia menutup pintu mobil, ia menyuruhku untuk menjemputnya tepat setelah dhuhur di masjid megah itu.
“Jemput aku di masjid itu setelah dhuhur. Nanti aku mau kesuatu tempat. Jangan lupa juga untuk sedikit berias diri, Oke!” lalu seketika ia berlalu menyebrang jalan menuju gerbang masjid Al-Makmur.
Sekarang aku mulai memasang prasangka buruk. Aku mulai khawatir dengan apa yang akan dilakukan Andrian kedepannya. Aku mulai bingung. Apakah aku harus menuruti perintahnya. Ataupun aku harus mematikan ponselku, karena jika aku tidak menjemputnya ia bisa sa meneleponku. Lebih lanjut, aku berpikir untuk melanjutkan drama yang dimainkan Andrian. Aku memutuskan untuk menjempunya nanti setelah shalat dhuhur.
            ***
Setelah berpakaian rapi dengan sedikit aksesoris di jari, aku keluar dengan menyetir mobil sendiri. Dengan tujuan menjemput tamu aneh yang bernama Andrian. Dalam perjalanan, aku mulai menyusun beberapa strategi perang apabila dia melakukan hal yang tidak senonoh denganku. tidak lupa pula, aku menyiapkan sebuah pertanyaan lama, yang duluya tidak sempat ku tanyakan.
“Mengapa kamu tahu kalau aku berasal dari Aceh.” Itulah pertanyaan lama yang sudah ku pendam beberapa minggu.
            *****
Mobilku mulai memasuki parkiran masjid. Terlihat Andrian sedang memakai sepatu. Di sampingnya ada tas ransel besar yang berisi baju, kamera juga tripod. Tentang baju, itu hanya tebakanku belaka. Aku belum sempat memeriksa isi ranselnya. Ada yang berbeda dari pakaiannya. Sekarang ia memakai kemeja, dengan celana jeans longgar. Di tambah lagi dengan kacamata. Seperti eksekutif muda di kota besar.
Sesaaat setelah ku parkirkan mobil dengan benar, aku turun mengambil ranselnya. Kumasukkan ke bagasi belakang mobilku. Andrian belum sempat berbicara. Ini adalah kesempatannku untuk menanyakan pertanyaan pamungkas.
“Kenapa kamu?”
“Sekarang antarkan aku ke rumah kenalan orangtuaku. Di sana ada pesta perkawinan. Anaknya yang tertuanya melakukan resepsi hari ini. Ini alamatnya!”
Lalu ku lihat alamat yang tertera di kertas itu. Rupanya tidak jauh dari masjid itu. Hanya beberapa lorong dari masjid. Aku memutar kemudi mobil menuju rumah pesta itu.
Sekarang aku mengerti mengapa dia menyuruhku untuk merias diri. Dan Alhamdulillah aku menurutinya. Aku memakai pakaian yang sedikit lebih modis. Cukup layak untuk pergi ke undangan perkawinan. Sambil tersenyum, aku mengatakan terima kasih pada Andrian. Namun tidak ada balasan. Ia fokus memperhatikan jalanan, meskipun yang menjadi supir itu aku. Aku tidak mengerti pola pikiran “tamu” ku ini. Aku turuti sajalah.
            ***
Kelihatannya kali ini dia sangat menikamti makanan yang di sajikan tuan rumah. Terlihat di amakan tidak tanggung-tanggung. Aku membuat perkiraan kalau dia terlalu lapar atau makanannya memang memiliki cita rasa yang enak. Setahuku, makan di setiap pesta perkawinan itu memang selalu menggugah selera.
“Gimana makanannya? Enak? Kelihatannya kamu sangat menikmatinya.”
“Ya, tentu, makanannya enak. Aku rasa ini makan pertama yang ku makan dengan selahap ini.
“Ini tidak ada sangkut pautnya dengan syariat disini, kan?”
“Tentu saja tidak. Kali ini aku berkata jujur. Memang enak.”
“Ayo kita pamit,” ajakku.
Kami pun berpamitan. Tapi aku masih menunggu-nunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Kemanakah tujuan Andrian selanjutnya? Aku mulai menebak-nebak dalam hati. Warung kopi lagi? Museum tsunami? Kapal apung? Atau kemana? Aku terlanjur penasaran.
Sesaat setelah mobilku menyala, perintah pun datang.
“Antarkan aku ke pelabuhan kalian. Apa itu namanya? Aku kurang bisa mengejanya.”
“Ulee Lheu?”
“Pokoknya ke pelabuhan itu. Tempat aku ingin melihat sunset kali ini.”
            ****
Tepat pukul 16.30. Aku menepikan mobilku di pekarangan masjid Ulee Lheue. Andrian turun. Ia merogoh sesuatu dalam saku depan celananya. Aku tidak menyangka kalau yang di ambilnya adalah peci putih. Lantas dia juga mengajakku untuk shalat.
            “Ayo kita shalat jama’ah.”
            “Sorry, aku lagi gak bisa shalat. Baru tadi dhuhur datang tamu,” jawabku santai.
Kau menunggunya selama 15 menit. Seusai ia shalat, kami pun menuju pelabuhan. Terlihat banyak sekali muda mudi yang menghabiskan akhir pekannya disini. Hampir semuanya membawa pasangan, termasuk aku. Walaupun pasanganku hanya tamu aneh. Beberapa saat aku melihat-lihat tempat yang pas, akhirnya kami turun dari mobil.
Tempat kami berhenti memang sedikit sepi. Tidak terlalu ramai seperti temapt lainnya. Aku berfikir ini adalah tempat yang pas untuk melihat sunset. Tidak banyak gangguan juga pas untuk menikmati ketenangan.
Andrian pun mengeluarkan kamera dan tripodnya. Ia mulai memasang kameranya dan mengukur ketinggian yang sesuai. Juga mengatur keakuratan warna pada mode pilihan kameranya. Lalu ia duduk tepat di hadapanku.
“Well, Mutia. Thank you very much for today. I’m pleasant with that.”
“Oke sama-sama.” Aku tersipu malu.
“Andrian, boleh aku tanya sesuatu?”
“Oke, for sure, please. Oke tidak masalah. Tanya aja.”
“Kamu ingat kan ketika beremu di bandara tiga minggu yang lalu? Kamu kenapa tahu kalau aku ini anak Aceh? Dimana kamu menandainya dan begitu yakin kalau aku ini orang Aceh?”
Sambil terkekeh, Andrian menjawab, “Oh itu. Ya kamu memang benar orang Aceh. Aku tahu dari caramu berpakaian. Kamu memakai jilbab. Jilbab ala hijabersmu itu tidak menyulitkanku untuk yakin kalau kamu itu anak Aceh. Dan memakai jilbab ala hijabers mu membuatku juga tahu ukuran dadamu. Selain itu, disini Aku juga dengan mudahnya mengetahui, kapan kamu dan teman-teman perempuanmu sedang datang bulan. Bahkan aku juga tahu apa warna celana dalammu.
“Coba kamu bangun dan  berdirilah dekat batu itu. Aku pasti tahu.”
Darahku mulai naik ke ubun-ubun. Ia seakan memperkosaku di hadapan umum. Aku ingin membantah perkataannya. Tapi tidak sempat. Ia menghalangiku dengan pertanyaan yang memojokkan.
“Syariat macam apa yang kalian terapkan?”
“Welcome to syariah dress area, you may not enter to this place without wearing syariah dress.”
“Apakah hanya cukup dengan slogan yang bertebaran di sana-sini. Tanpa aplikasi yang selayaknya. Bukan sekali dua kali aku melakukan riset disini. Di tanah Aceh. Riset tentang hukum syariat yang kalian agungkan. Aku Islam. Lahir dari keluarga Islam dan beribadah secara Islam. Niatanku bukan untuk menghujat aturan negeri kalian, tapi sepatutnya kalian malu pada aturan yang kalian pamerkan. Betapa tidak? Banyak muda-mudi di tempat kalian yang bebas bertebaran, walaupun katanya Islam, berlaku dengan hukum syariah Islam.”
“Tapi kan kami tidak melakukan permesuman dan perjudian?”
“Serendah itukah tingkat pemahaman kalian tentang syariah Islam?”
Aku tertunduk lesu. Tidak keluar sepatah kata pun dari tenggorokanku. Terasa ada yang mengalir dari bola mata menyusuri pipiku. Aku benar-benar di perkosa. Diperkosa oleh siapa? Oleh diriku sendiri di bawah temaram sunset Ulee Lheue.



[1] Dek Nong adalah panggilan untuk seorang perempuan di Aceh yang belum diketahui namanya.

Comments

Popular posts from this blog

(Karena) Lelaki itu Tukang Olah

Jampok

Bansa Teuleubeh +