Ra, Dengarkanlah Saja VII

Ra, tidak terasa sudah genap setahun kita berumah tangga. Ini adalah Ramadhan pertama kita semeja makan. Seperti kata orang-orang, Ramadhan bersama istri tercinta itu penuh dengan kebahagian dan keceriaan. Walaupun makanan berbukanya cuma tahu goreng dan air tebu, tetap terasa nikmat nan berkah. Terima kasih, Ra.

Ra, aku punya cerita baru. Tentang aku di masa remaja, tepatnya ketika aku masih duduk di bangku Tsanawiyah, kelas tiga. Di mana masa tersebut banyak anak remaja mengenal pacaran, mengenal surat cinta, mengenal kirim salam kenal untuk hubungan yang katanya serius. Ku rasa kamu sangat paham itu, Ra. Bukankah kamu juga pernah mengalaminya, walaupun tidak di tahun yang berbeda. Setidaknya tidak ada perbedaan yang sangat jauh. Pun kamu sama-sama pernah sekolah seperti ku.

Ra, yang perlu ku garis bawahi adalah aku mengidap sindrom marmut merah jambu tidak separah teman-temanku pada kebanyakan. Semisal, aku bertemu dengan perempuan, yang notabene nya meu ie breuh alias cantik, perasaan ku biasa aja, tidak deg-degan, gugup dan lain sebagianya. Seperti seorang perempuan yang sering ku temui kala itu. Dia sangat banyak diperebutkan teman-temanku.

Nah, inilah cerita yang akan ku ceritakan padamu malam ini.cerita tentang gadis yang diperebutkan itu namun dia menyukai ku dalam diam. Dia seorang gadis kecil, imut, putih seperti Barbie. Produk Aceh tentunya, bukan Ukraina. Setahu ku, dia disukai oleh temanku yang sama perawakannya dengan dia. Putih, tinggi, pintar, punya kekayaan yang sedikit lebih.

Menurut kabar angin lainnya, ada dua temanku yang lain yang menyukainya juga. Yang satunya adalah anak pengusaha percetakan dan yang satunya lagi adalah anak dari tauke pakaian. Tiga lelaki memperebutkan satu perempuan. Begitulah kabar angin yang ku dengar dari kawan-kawanku yang kebetulan sudah tertular virus marmut merah jambu. Aku tidak ambil pusing, itu kan urusan mereka. Sebenarnya bukan di saat itu inti ceritanya, Ra. Yang ku ceritakan tadi hanya pembuka untuk cerita selanjutnya di mana aku menjalin hubungan cinta dengannya. Setidaknya boleh di bilang begitu.

Cerita di atas adalah cerita tiga tahun yang lalu, sewaktu aku masih ingusan, Ra. Saat itu aku masih belum mengenal cinta. Dan kali ini aku akan menceritakan kisah ku dengan gadis yang sering ku jumpai itu. Aku bertemu dengannya kembali secara tidak sengaja, di awal tahun saat hendak mendaftar di perguruan tinggi. Setidaknya aku melewatkan satu hal. Aku tidak lagi mengenalinya dengan baik. Aku yang waktu itu suka sekali berkenalan dengan perempuan memulai langkah berkenalan. Dan kali ini aku gagal, karena perempuan itu adalah dia yang sering ku temui 3 tahun yang lalu. Ra, kamu belum  tidur kan? Ini baru permulaan cerita lho. Satu hal, kamu jangan cemburu ya. Aku sedang berusaha jujur sama kamu. Nyan kan, kamu sudah cemberut begitu. Ra, plis. Jangan cemberut. Aku buatkan kopi ya, sebagai permintaan maafku. Tapi aku tetap akan melanjutkan ceritaku. Sambil kita seruput kopi pahit khas Gayo. Kamu segelas, aku dua gelas. Cukup adil bukan?

Oke, Ra. Kami saat itu bercerita panjang lebar seperti tentang kelanjutan studinya. Katanya, dia akan menempuh studi kebidanan karena cita-citanya dari kecil memang menjadi bidan. Dia sangat menyukai anak bayi. Tidak sampai di situ saja, kami mulai mengingat hal-hal lucu yang terjadi tiga tahun silam. Hingga pada akhirnya aku menyinggung hal yang bisa saja membuat dia tersinggung. Tentunya saja tentang kisah cintanya selama tiga tahun terakhir. Suasana menjadi senyap beberapa saat. Dan kamu tahu apa jawabannya? Sebuah kejutan. Katanya dia tidak mempunyai hubungan khusus dengan mereka yang ku ceritakan sebelumnya. Entah itu hanya pembelaan semata atau pun memang benar adanya. Wallahu’alam. Kadangkala untuk jujur itu butuh kesiapan yang sangat luar biasa. Seperti yang aku lakukan padamu dulu, Ra. Kita tinggalkan cerita kita, ku lanjutkan ceritaku dulu ya Ra.

Sejak saat itu, kami semakin dekat. Dekat sebatas teman hingga pada suatu kesempatan dia mengungkapkan rasa tertariknya padaku. Waw, aku tersentuh, Ra. Siapa aku? Apa kelebihanku?
Tapi ya begitulah perempuan, karena nyaman bisa membuat mereka lupa kalau hubungan mereka hanya sebatas teman. Kata orang-orang sih begitu. Setelah mendengar pernyataannya, aku terdiam sejenak. Keputusan harus di ambil segera dengan tanpa menyakiti perasaan dan tidak tergesa-gesa. Aku memilih untuk tidak mengikuti kemauan dia. Ya, Ra. Aku menolaknya dengan alasan aku belum siap.  Aku tidak menyesal sedikit pun, tidak sama sekali.
Kamu tentu bertanya-tanya, bagaimana cerita kami selanjutnya, bukan? hari-hari berikut, kami sudah disibukkan dengan pekerjaan masing-masing. Namun itu hanya sebagai pembenaran belaka. Dia mulai menjauh dariku setelah beberapa sabtu kemudian. Hingga suatu saat, nomor ponselnya pun di ganti. Kabar terakhir yang ku dengar, perasaannya terhadap ku masih dia pendam, dan dia sudah menjadi bidan terbaik di salah satu rumah bersalin di luar kota sana.
Bagaimana denganku? Seperti yang terlihat sekarang, Ra. Kita menyeruput kopi berdua di bawah temaram sinar lampu Philips Terus Terang. Mungkin saja tahun depan kita sudah bertiga. Kamu mengerti maksudku, bukan?

Baca Yang selanjutnya, boleh komentar untuk setting dan ide cerita Ra, Dengarkanlah Saja VIII







Comments

Popular posts from this blog

(Karena) Lelaki itu Tukang Olah

Jampok

Bansa Teuleubeh +