Ra, Dengarkanlah Saja XII
Ra,
Alhamdulillah kita sudah kembali ke kota Bunda, walaupun untuk beberapa saat
lagi kita harus pindah lagi ke kota PaPa. Ini juga kali pertama kita berlebaran
dirumah dua keluarga. Kamu ingat kan suatu waktu aku pernah menulis tentang
Menikah: Behind The Scene. Di sana aku menulis tentang hakikat menikah itu ya
mempersatukan dua keluarga dari dua latar belakang yang berbeda. Dan sekali
lagi, Alhamdulillah kita sudah berhasil melakukannya. Semoga ke depan kita bisa
melanggengkannya untuk selamanya. Kalau orang Melayu cakap, “sampai bile-bile”.
Kamu setuju kan, Ra?
Ra, kue
lebaran kita masih banyak kan? Bawakan kemari, kita cicipi bersama. Aku mau
nyicipin kue buatanmu itu lho. Kan aku tahu kamu pandai meracik kue, walaupun
sesekali kamu gagal bereksperimen. Bolehkah aku sedikit tersenyum mengenai
kegagalanmu membuat kue, Ra? Kalaupun tidak, pun tidak mengapa. Karena
esensinya bukan pada kenikmatan kuenya, tapi pada seberapa besar keikhlasan dan
kebersamaan ketika kita menikmatinya secara bersama-sama. Ra, mala mini kita
duduk di teras ya, karea tadi tanpa sengaja ku lihat banyak bintang yang
berkeliaran di langit sana. Kamu ambilkan kue, aku yang buatkan kopi. Aku tahu
kamu sangat letih akibat perjalanan jauh selama dua hari ini. Kopi latte
special. Kamu pasti akan suka sekali. Ku buatkan segelas saja, seperti biasa,
kita seruput bersama.
***
Benar kan
kataku, bintangnya banyak sekali. Terlalu indah jika momen ini terlewatkan
tentunya dengan sebuah cerita masa laluku. Ini benar-benar masa lalu di mana
aku pertama kali mengenal cinta. Kita harus mundur sekitar 20 tahun ke belakang
untuk memungut sisa-sisa kenangan itu. Mungkin ini cerita terusang yang akan ku
ceritakan, Ra. Bagaimana tidak, ini cerita zaman purba kisah percintaan anak
ingusan di masa sekolah dasar. Jadi ceritanya begini. Sejak kecil aku sudah
merantau, tentunya mengikuti tugas dinas orangtuaku. Seiring dengan keputusan
demikian, maka adalah aku yang harus bersekolah di sekolah umum dan umumnya
muridnya adalah cina keturunan. Di dalam kelasku, sebagian besarnya adalah
cina, di ikuti oleh warga tempatan,sedangkan aku adalah satu-satunya murid dari
luar komunitas mereka. Dan disini juga aku jatuh cinta untuk pertama kalinya. Jatuh
cinta pada gadis Chinese muslim. Mata sipit, putih, pipi tembem. Kamu bisa
bayangkan bukan? hampir seperti kamu, mata sipit, tapi kulitnya saja yang beda.
Jangan marah ya, Ra.
Setiap pagi
aku sering meliriknya. Melihat cara dia menulis, mengagumi rambut lurusnya,
juga bagaimana dia bersopan santun dengan keluarganya. Saat itu belum berani
untuk berbicara dengan perempuan lho. Belum ganas seperti anak-anak sekolah dasar sekarang yang sudah
banyak belajar dari gadget “murahan”.
***
Setelah beberapa
lama, cintaku padanya bertambah-tambah. Aku mulai mencari tahu dimana rumahnya.
Hingga dikejar-kejar oleh anjing dan juga anak-anak geng SMP yang kebetulan
juga melirik kecantikan si gadis Chinese itu. Aku, saat itu seperti menyerah. Tapi
hatiku todak pernah puas. Hingga aku benar-benar menemukan dimana rumahnya. Rumahnya
sangat sederhana, walaupun keturunan Chinese. Tidak semua orang Cina itu kaya,
camkan itu.
Di saat
aku sudah mulai berinteraksi dengannya, tragedy krisis moneter tidak
terelakkan. Inflasi ekonomi dimana-mana. Dan saat itulah banyak Chinese, tidak
pandang bulu, di usir dari bumi persada Indonesia. Setali tiga unag dengan
cinta kecilku ini, dia hijrah bersama keluarganya ke Malaysia. Aku bahkan tidak
sempat mengucapkan selamat jalan padanya. Beberapa minggu aku menyendiri. Merasa
kehilangan, itu sudah pasti, Ra. Janganlah begitu, Ra. Kamu tersenyum bahagia
begitu, melihat nasib cintaku yang tak tahu bagaiamana. Saat itu, lagunya
Dewa19, Cintaku Tertinggal Di Malaysia belum sempat tercipta oleh Ahmad Dhani. Jika
lagu itu sudah itu, bisa saja aku melepas sedih dengan lagu itu. Nah, begitulah
perjalanan cinta kecilku, Ra. Mau ku buatkan kopi lagi gak? Ah, malas ah. Kamu saja yang buatkan. Kamu bawakan saja ke
kamar, ku tunggu engkau di sana, Ra.
Comments
Post a Comment