Jampok

Malam identik dengan bulan. Juga identik dengan bintang. Tak luput pula identik dengan angin yang beradu rendah dengan sedikit kabut. Gambaran malam pada umumnya berhiaskan lampu-lampu indah di kota besar. Juga tak ketinggalan, kampung yang sudah terkontaminasi dengan arus perubahan. Perubahan yang sangat positif saya kira. Dulu, saat saya kecil, yang ada hanya lampu teplok. Zaman memang sudah sangat berubah. Namun saya tidak ingin curhat tentang masa lalu yang kurang beruntung hari ini. Saya ingin bercerita tentang burung hantu. Yang dalam bahasa Aceh disebut dengan Jampok.
            Pikiran saya sedang sangat aneh, makanya saya ingin bercerita tentang burung hantu. Burung hantu di golongkan dalam kelompok burung  berordo Strigiformes. Kalau pernah mengecap pendidikan sekolah menengah pasti tahu bagaimana klasifikasinya. Burung ini termasuk golongan burung buas (karnivora, pemakan daging) dan merupakan hewan malam (nokturnal). Burung hantu mempunyai 222 species di seluruh dunia kecuali Antartika dan Greenland.
            Di dunia barat, burung hantu disimbolkan dengan kebijaksanaan, sedangkan di Indonesia kebanyakan ditasbihkan sebagai simbol malapetaka. Namun tidak semua menganggapnya sebagai simbol jahat.
            Menurut saya, burung hantu ini sangat unik. Selain ia hidupnya di malam hari, dia juga sebagai bangsa karnivora. Tikus adalah salah satu makanan favoritnya. Dan sekarang, di zaman modern, ia mampu menjelma dan hidup dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita bahkan kurang menyadarinya. Kita sudah di rasuki oleh burung hantu.
            ***
            Di zaman modern, jaringan komunikasi memegang peranan penting dalam perjalanan hidup manusia. Setiap hari kita berkomunikasi baik dengan verbal juga nonverbal. Berbicara tentang jaringan komunikasi, ponsel khususnya, memang hampir saban hari kita pakai. Ada yang sekedar bertanya kabar, urusan bisnis hingga masalah percintaan.
            Keadaan ini kemudian membuat penyedia telekomunikasi berlomba-lomba memberikan pelayanan tarif yang murah. Kebanyakan tarif murah yang di berikan itu ketika tengah malam hingga pagi hari. Sekilas memang tidak bermasalah. Namun ketika ini di salah gunakan menjadi berbahaya.
            Adalah ketika para muda mudi yang sedang di mabuk asmara, burung hantu syndrome (dalam bahasa saya) ini terjangkit. Buktinya mereka dengan suka rela untuk menuggu jam 12 malam untuk teleponan. Kalau hanya ingin teleponan, mengapa harus menunggu sampai pukul 12 malam. Mungkin faktor tarif murah kali ya. Dan apa yang terjadi ketika pembicaraan mereka mulai. Mereka lupa waktu. Mereka lupa kalau mereka telah menelepon berjam-jam lamanya. Mata mereka tetap melek walaupun suara kokokan ayam mulai memekik.
            Pertanyaan selanjutnya, apa yang mereka bicarakan? Percakapan mereka ada sangat bervariatif. Mulai dari cerita tentang diri sendiri, hingga keluarga. Bahkan ada juga yang berbicara tentang masa depan berdua.
            “Adek besok mau ngapain?”
            “Keluarga adek kaya, gak ?”
            “Abang ganteng gak menurut adek?”
            “Nanti kita nikahnya di Belanda ya Bang.”
            “Apa tidur awal-awal.”
            Wah,sungguh jauh pemikiran mereka. Dari beberapa contoh variasi pembicaraan diatas ada banyak yang positif. Ya kebanyakanan pembicaraannya dibumbui dengan rayuan yang sangat kental. Sekali-kali akan di suguhi dengan tetawaan kecil. Sesekali akan terdengar panggilan,”Abang?” “Iya, adek sayang.” Begitu juga sebaliknya. Dasar jampok[1] (burung hantu) sedang magang.
            Begitulah potret muda mudi sekarang. Mereka sangat mengerti apa itu asas manfaat. Asas manfaat menggunakan tarif murah untuk membuat perusahaan telekomunikasi bangkrut. Bangkrut. Kata para je-jampok.








[1] Jampok adalah kiasan untuk orang suka memuji diri dalam bahasa Aceh. 

Comments

Popular posts from this blog

(Karena) Lelaki itu Tukang Olah

Bansa Teuleubeh +