Kaus Kaki
Sekarang
ini fungsi kaos kaki tidak hanya sebatas untuk memberi rasa hangat, mencegah
gesekan, dan menyerap keringat dikaki tetapi telah berkembang pesat dalam dunia
fashion untuk menambah keindahan dalam berbusana.[1]Begitulah
pengartian sebuah kaos kaki secara normal dan di aminkan oleh seluruh ummat
manusia di muka bumi ini. Tidak aka nada yang akan menyanggah itu. Mereka tidak
akan mengatakan kaos kaki itu sebagai alat penutup kepala, sebagai alas meja
ataupun sebagai penyangga tiang bendera.
Namun
akan berbeda apabila kita bergaul dengan masyarakat Aceh. Pengertian sebuah
kaos kaki akan sangat bertolak belakang. Di Aceh kaus kaki bukanlah sebuah
media yang mampu meredam hawa dingin di kaki. Pengartian kaos kaki disini lebih
filosofis dan lebih politis. Bagaimana tidak, disini kaus kaki tidak jarang
mempunyai konotasi yang sangat buruk.
Adalah
slogan “Bek lee ka pasoe kamoe lam sitoken broek”. Slogan yang sangat
kental dengan khazanah kehidupan masyarakat kita Aceh secara sadar atau pun tidak. Janganlah kamu
memasukkan kami ke dalam kaus kaki usang. Majas ini ditujukan kepada calon
pemimpin atau lebih tepatnya kepada pemberi janji. Mengapa sindiran ini muncul?
Ya, mari kita melihat realita dengan mata telanjang. Pada saat mengumbar janji,
mereka mengilah daya untuk membuat janji-janji yang sangat membuat akal sehat
kita menerimanya (sebahagian besar). Namun ketika telah menjadi orang di depan
(dibaca : penguasa), mereka bahkan tidak lagi mengenal siapa yang menjadikan
mereka sebagai penguasa. Janji tinggallah janji. akhirnya masyarakat kecil di
berikan sebuah tempat yang istimewa yaitu sebuah “kaus kaki” usang.
Masyarakat
ini di biarkan morat-marit dalam menjalani kehidupan yang sedemikian keras ini.
Tanpa adanya kepedulian apalagi kesejahteraan yang merata. Masyarakat sangat
menyadari bahwa mereka sudah masuk kedalam “kaus kaki’ ini. Namun apalah daya,
masyarakat tetaplah masyarakat. Yang untuk bisa makan sehari dua kali saja
sudah sangat di syukuri. Mereka tidak punya kekuatan yang mumpuni untuk melibas
para pengumbar bualan ini.
Maka
sampailah kita di 2014 ini, tahun politik. Tahun pertarungan urat saraf juga
nadi rupiah. Propaganda yang sedemikian rupa di jalankan. Pencitraan hadir
dimana-mana bahkan di WC Meunasah/Mersah. Tidak dapat kita pungkiri bahwaa
calon penguasa ini sudah menyiapkan berjuta-juta pasang “kaus kaki” usang untuk
masyarakat awam. Pertanyaannya apakah masyarakat kembali berhasil ditipu untuk
masuk ke dalamnya ataupun tidak. Ini tergantung kepada masyarakat kita. Dan semoga
saja para calon pemimpin (layaknya disebut penguasa) tidak berani lagi
memasukkan kita ke dalam kaus kaki bekasnya (lagi).
Bek Lee Ka ‘Elanya Kamoe Deungen Janji-Janji Awak Kah. Bek Lee Ka Pasoe
Kamoe Lam Sitoken Broek. Na Ka Dingee Njan ?
ide tulisannya bagus.. :) cuma ada sedikit kurang di EYD... LANJUTKAN Jenderal Qafrawi,.. :)
ReplyDeleteThanks ya Jun... :)
ReplyDelete