Kaus Kaki

            
Menurut kamus besar bahasa Indonesia” kaos kaki adalah sarung kaki yang berguna untuk menutupi kaki. Pada awalnya kaos kaki dibuat dengan cara dirajut. Kaos kaki berfungsi untuk melindungi kaki dari gesekan langsung dengan alas kaki, menyerap keringat, dan menjaga kaki agar tetap hangat. Pada awalnya kaos kaki terbuat dari bulu binatang yang keriting, bahan untuk pembuatan kaos kaki biasanya terbuat dari wol, katun, akrilik, bahkan campuran dari nilon, pada perkembangannya terdapat banyak jenis kaos kaki baik dari segi panjang, ketebalan, warna, bahkan fungsinya.
            Sekarang ini fungsi kaos kaki tidak hanya sebatas untuk memberi rasa hangat, mencegah gesekan, dan menyerap keringat dikaki tetapi telah berkembang pesat dalam dunia fashion untuk menambah keindahan dalam berbusana.[1]Begitulah pengartian sebuah kaos kaki secara normal dan di aminkan oleh seluruh ummat manusia di muka bumi ini. Tidak aka nada yang akan menyanggah itu. Mereka tidak akan mengatakan kaos kaki itu sebagai alat penutup kepala, sebagai alas meja ataupun sebagai penyangga tiang bendera.
            Namun akan berbeda apabila kita bergaul dengan masyarakat Aceh. Pengertian sebuah kaos kaki akan sangat bertolak belakang. Di Aceh kaus kaki bukanlah sebuah media yang mampu meredam hawa dingin di kaki. Pengartian kaos kaki disini lebih filosofis dan lebih politis. Bagaimana tidak, disini kaus kaki tidak jarang mempunyai konotasi yang sangat buruk.
            Adalah slogan “Bek lee ka pasoe kamoe lam sitoken broek”. Slogan yang sangat kental dengan khazanah kehidupan masyarakat kita Aceh secara  sadar atau pun tidak. Janganlah kamu memasukkan kami ke dalam kaus kaki usang. Majas ini ditujukan kepada calon pemimpin atau lebih tepatnya kepada pemberi janji. Mengapa sindiran ini muncul? Ya, mari kita melihat realita dengan mata telanjang. Pada saat mengumbar janji, mereka mengilah daya untuk membuat janji-janji yang sangat membuat akal sehat kita menerimanya (sebahagian besar). Namun ketika telah menjadi orang di depan (dibaca : penguasa), mereka bahkan tidak lagi mengenal siapa yang menjadikan mereka sebagai penguasa. Janji tinggallah janji. akhirnya masyarakat kecil di berikan sebuah tempat yang istimewa yaitu sebuah “kaus kaki” usang.
            Masyarakat ini di biarkan morat-marit dalam menjalani kehidupan yang sedemikian keras ini. Tanpa adanya kepedulian apalagi kesejahteraan yang merata. Masyarakat sangat menyadari bahwa mereka sudah masuk kedalam “kaus kaki’ ini. Namun apalah daya, masyarakat tetaplah masyarakat. Yang untuk bisa makan sehari dua kali saja sudah sangat di syukuri. Mereka tidak punya kekuatan yang mumpuni untuk melibas para pengumbar bualan ini.
            Maka sampailah kita di 2014 ini, tahun politik. Tahun pertarungan urat saraf juga nadi rupiah. Propaganda yang sedemikian rupa di jalankan. Pencitraan hadir dimana-mana bahkan di WC Meunasah/Mersah. Tidak dapat kita pungkiri bahwaa calon penguasa ini sudah menyiapkan berjuta-juta pasang “kaus kaki” usang untuk masyarakat awam. Pertanyaannya apakah masyarakat kembali berhasil ditipu untuk masuk ke dalamnya ataupun tidak. Ini tergantung kepada masyarakat kita. Dan semoga saja para calon pemimpin (layaknya disebut penguasa) tidak berani lagi memasukkan kita ke dalam kaus kaki bekasnya (lagi).
Bek Lee Ka ‘Elanya Kamoe Deungen Janji-Janji Awak Kah. Bek Lee Ka Pasoe Kamoe Lam Sitoken Broek. Na Ka Dingee Njan ?




[1] http://www.sigodangpos.com/2013/07/pengertian-dan-fungsi-kaos-kaki.html

Comments

  1. ide tulisannya bagus.. :) cuma ada sedikit kurang di EYD... LANJUTKAN Jenderal Qafrawi,.. :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

(Karena) Lelaki itu Tukang Olah

Jampok

Bansa Teuleubeh +