Iya. Selamat

Amin dan Tara masih beradu pandang. Mata sipitnya sekali-kali memainkan nada yang sama. Sambil memalingkan muka. Masih terlihat rasa sayang di balik cemoohan klasiknya. Sesekali nafas panjang dihela. Mereka masih berbicara. Tentang masa depan, kehidupan yang penuh angan. Tidak ada yang pasti dengan bahasan angan dan kenangan mereka. Mereka kembali beradu pandang. Tidak secara sengaja. Tapi tepat mengena antara kedua ujung cahaya mata.
            “Kamu memandangku?”
            “Tidak”.
            Sedikit terkekeh malu, lalu membuang pandangan lagi. Dan saling memandang kembali. Lagi, mereka membuka pembicaraan yang lain. Mulut mereka seakan tiada berhenti bergerak. Tara sedikit meraih botol airnya. Sambil menegak sedikit air penahan dahaga. Mereka kembali alot dalm pembicaraannya. Tidak ada yang jelas apa yang mereka perbincangkan.
****
            Tara sudah berada di sana sejak 2 jam yang lalu. Duduk menyendiri di pojok meja. Dengan sebundel kertas tebal di pangkunya. Dengan memakai kemeja putih lengkap dengan rok hitamnya. Di sampingnya tergeletak sebuah laptop. Juga berkas surat permohonan untuk sidang skripsi. Tidak ketinggalan pula jaket rajut beraroma parfum impor. Bundelan kertas masih di pangkuannya. Bundelan tebal skripsi 5 rangkap yang ia persiapkan untuk penyelesaian tugas akhir di esok hari. Ia berniat untuk sekedar mengulang kaji hari ini. Ia sengaja menyendiri di sini. Tidak kepada seorangpun ia memasang janji. Hanya dia sendiri, Menyendiri di bawah alunan angin di siang hari. Sedikit hawa panas menyelimuti hati. Angin barat pun mulai bertiup melambaikan jilbab birunya.
            Kertas yang dipangkunya ditaruh di atas meja. Tepat di sampingnya botol minuman penambah ion kesukaannya. Sengaja ia pesan untuk sedikit menahan gerah. Ia kemudian membukanya. Sambil membaca lembar skripsinya, ia meneguk minuman itu secara perlahan. Dengan tetap waspada agar tidak tersedak dengan minuman itu. Karean ia akan menaggung dua kerugian. Tersedak dan kertas skripsi menderita kedinginan.
            Dia memang agak sedikit nyeleneh tentang skripsinya. Ia bahkan sudah tak menyentuhnya sejak sangat lama. Tepatnya dua minggu setelah selesai peng-ACC-an bundelan itu. Hanya satu yang ia tanamkan di benaknya. Teror dosen penguji hanya sementara. Itulah jimat keramatya. Hanya 20 menit. Tidak lebih dari itu.
            ***
            “Sudah lama ya?”
            “Iya sudah sedkit agak lama”.
            “Skripsi? Belajar?”
            “Iya, Cuma mengulang beberapa kata. Kenapa?”
            “Cuma ingin tahu.” “Sendiri ?”
            “Iya, kenapa?”
            “Gak, Cuma penasaran saja.”
            Mereka memang begitu ketika membuka obrolan. Cuek tapi tetap bersahabat. Lama kelamaan mencairlah obrolan mereka. Menjalar kemana-mana. Tidak ada yang bisa membendung gairah obrolan panas nan santai mereka. Sesekali Amin menggertak dengan nada tinggi.
            “Sudah ku bilang kan.”
            “Emangnya kenapa?”
            Beberapa mata memang terbelalak dengan tingkah aneh mereka. Meraka bukan marahan. Mereka juga bukan saling menghardik satu sama lain.  Mereka hanya sedang bermesraan. Melepas kerinduan yang mendalam. Setiap pertemuan, setiap persinggahan dua mata dengan sorot mendalam. Dengan mencoba mengulang beberapa lembaran kehidupan di musim lalu. Mereka terlibat dalam bahasan kisah yang rumit. Sangat rumit hingga dedaunan layu tak beralasan. Hingga beberapa ulat menangis kelaparan. Kisah di musim panas lalu di suatu kota yang jauh dari keluarga, berbagi kasih bersama.
            Kembali terdengar beberapa umpatan layaknya hujatan dari mulut Tara. Ia terlihat kesal dengan Amin. Amin masih terlihat santai dengan senyum disuguhkan dengan menawan.
            “Memangnya kenapa? Kurang senang?”
            “Kalau ia kenapa?”
            “Ya sudah, terserah. Gampang kan?”
            Mereka saling memalingkan muka. Saling memberi wajah masam yang tak karuan. Cemberut dengan tanpa alasan. Cemoohan itu, penyedap rasa asmara persahabatan mereka. Itu pun kalau tidak mau di bilang rasa cinta yang tanpa alasan. Mengalir apa adanya.
            ******

            “Sudahlah, mengaku saja. Kamu memandang aku, bukan?”
            “Tidak, aku memandang abu yang terbang di sudut sana. Juga ku pandangi jejeran mobil di sudut jalan itu.”
            “Jujur sajalah.”
            “Tidak, aku memandang mobil-mobil itu.”
            Mereka lalu kembali membuang muka sejenak. Lalu kembali mencair. Membangun lagi kehangatan yang pernah ada. Saling mendukung satu sama lain. Mereka sama-sama tersenyum. Sambil merebahkan kepala di atas meja, mulut Amin kembali berbicara. Tara mulai sedikit melunak. Mulai sedikit mengumbar aura dewasa. Ia mulai mengatur nada suaranya. Nampaknya sekarang mereka sedang berbicara serius. Dan kelihatannya memang begitu. Terdengar samar-samar Amin bertanya tentang perkara eksekusi skripsinya.
            “Kapan kamu sidang, Ra?”
            “Mungkin besok. Bisa jadi juga lusa.”
            “Semoga besok kau jadi sarjana, Ra.”
            “Aku tidak yakin itu.”
            Tara tetap menyanggah apa yang dido’akan Amin. Dengan segenap keterpaksaan, Amin menghela nafas panjang. Ia merogoh tas ranselnya lalu berlalu begitu saja.
            “Kemana?”
            “Pulang.” “Tidur.”
            ********
            Amin dikejutkan dengan getaran ponselnya. Ia melongok isi pesan di dalamnya.
            “Alhamdulillah, besok skripsiku di eksekusi.”
            “Iya,selamat.”
            Lalu Amin kembali membaringkan tubuh cekingnya.


Comments

  1. tergantung dari sisi mana kita lihat.

    ReplyDelete
  2. ahahahaha..
    mksh bnyk2 untuk tulisan ini Jenderal
    :)

    kali ini untk ptma x dpt ucpan slmat lewat tulisan,,
    mengharukan.

    ReplyDelete
  3. hoi hoi gk ada nama yg laen apa -_-

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

(Karena) Lelaki itu Tukang Olah

Jampok

Bansa Teuleubeh +