I Love Suamiku : Teacher

Foto perkawinan itu masih terpajang gagah di salah satu sudut ruangan rumahku. Dalam bingkai berukuran 60 cm x 40 cm tergambar jelas kegembiraan di wajahku dan juga suamiku. Tampak jelas senyum yang tersungging dari wajah suamiku. Walau terkesan agak sedikit terpaksa, namun ia sangat gembira. Begitu juga denganku. Make-up yang menempel di wajahku sedikit agak luntur karena tetesan air mata keharuan muncul secara tiba-tiba. Inilah satu-satunya foto yang masih kami pajang untuk kenang-kenangan.
Image : rohissdalazhar.blogspot.com

Foto ini menjadi foto yang paling unik menurutku. Tak ada peluk-pelukan seperti pasangan lainnya. Ini sangat natural dan aku sangat menyukainya. Sudah hampir sepuluh tahun lebih terpajang di tempat yang sama. Aku tidak pernah bosan untuk cuci mata pada foto itu.
******Sedikit kuceritakan tentang aku dan latar belakang keluargaku. Aku terlahir dari sebuah keluarga yang dianggap mapan secara finansial. Dan pun orang tuaku merupakan salah satu tokoh yang dituakan di sini. Tepatnya di kota petro dolar, Lhokseumawe. Semua pasti tahu kota itu. Hingar bingar kehidupan malamnya mungkin tidak semegah kota Medan, tapi cukuplah untuk kami untuk sedikit hura-hura. Aku terlahir sebagai anak terakhir. Aku mempunyai dua abang, dan aku menjadi satu-satunya gadis imut dalam keluarga ini.  
Tentunya bisa dibayangkan, bagaimana manjanya aku dengan orangtuaku. Terlebih lagi dengan abang keduaku. Ketika aku beranjak remaja, Abangku inilah yang selalu mengingatkanku tentang apa saja. Ia sudah ku anggap sebagai sahabat yang selalu siap membantuku kapan saja. Dan ia menunaikan tugasnya dengan sangat baik. Dia berhasil menjadi abang yang baik, juga sahabat yang setia. Lengkap sudah kebahagian hidupku saat itu.
****Apabila aku bercerita tentang suamiku, aku selalu menitikkan airmata. Bukan karena aku menyesal menikahinya. Aku sangat mencintainya lahir bathin. Dia tidak pernah mengecewakanku. Dia bahkan belum sekalipun memarahiku. Awal aku bertemu dengannya ketika aku melanjutkan studi di salah satu perguruan tinggi negeri di Banda Aceh. Pertama aku melihatnya, ia memang terlihat sangat dekil. Mukanya kusam. Kelopak matanya yang sudah hitam. Terlihat jelas ia orang yang suka begadang. Pandangan matanya yang sangat tajam. Namun jauh di dalam matanya terlihat kebaikan yang sangat besar.
Menurut yang aku tahu, suamiku ini dilahirkan dari keluarga yang sangat kurang mampu. Orangtuanya hanya seorang buruh di perkebunan kelapa sawit. Padatnya perkebunan kelapa sawit menjadi saksi kelahirannya. Hari-hari yang keras terpaksa ia jalani. Bagi aku, kehidupan yang demikian mungkin harus dia jalani dengan terpaksa. Tapi baginya adalah sebuah kewajiban untuk bisa bertahan hidup. Hingga akhirnya ia bisa melanjutkan studi di perguruan tinggi seperti anak bangsa lainnya.
Sekali waktu aku pernah bertanya kepadanya tentang mengapa ia memilih untuk kuliah. Ia menjawab dengan sangat tegas dan jelas.
“Saya ini hanya seorang petani. Orangtua saya juga petani. Saya kuliah ini hanya untuk memenuhi kewajiban yang dibebankan Negara untuk saya. Sehingga saya mempunyai sedikit ilmu untuk saya aplikasikan untuk kepentingan Negara juga”.
Begitulah wejangan panjangnya. Aku sangat tersentuh ketika mendengarnya. Pada saat itu aku belum mempunyai hubungan khusus dengannya. Hanya sebatas teman yang kadang-kadang ada, juga terkadang menghilang tanpa alasan yang jelas. Seingatku ia lebih sering menghilang.
Tepat setahun sebelum aku lulus kuliah, ia meminta kesediaanku menjadi istrinya. Dengan panjang lebar, ia menjelaskan keadaannya yang sangat pas-pasan. Dengan keadaan orangtuanya yang sangat kurang berkecukupan. Dan kekurangan lainnya. Setelah mendengar penjelasannya, aku pun dengan tanpa ragu menerima ajakannya membangun masa depan bersama-sama.
Akhirnya kami dipersatukan oleh Yang Maha Kuasa dalam ikatan pernikahan. Kami menikah juga tidak terjadi begitu saja. Kami menemui banyak rintangan. Mulai dari tentangan orangtua, tentangan dari kerabat, juga teman-teman dekatku. Namun karena sikapku yang kekeuh, juga keyakinanku untuk menjadikannya sebagai imam, mereka mengalah.
***Selain menjadi seorang istri dan  juga seorang ibu, aku juga sudah mendapatkan pekerjaan yang memadai. Aku dipercayakan menjadi manager di salah satu perusahaan swasta. Ini memang mungkin tidak sebanding dengan pekerjaan suamiku. Ia hanya seorang guru. Guru didaerah pedalaman. Yang saban harinya mengajari anak-anak desa. Anak-anak yang seakan putus harapan untuk pendidikan. Anak-anak yang dalam pikirannya sudah tertanam motto, “Untuk apa sekolah tinggi-tinggi, toh, nantinya menjadi petani juga.”Bagi mereka, sekolah itu hanya tempat bermain dengan huruf dan beberapa angka rumit. Begitulah realita kesenjangan pemerataan pendidikan kita.
Walaupun suamiku hanya seorang guru biasa, ia tidak pernah mengeluh. Yang ada hanya senyuman yang selalu merekah ketika pulang. Seingatku, ia tidak pernah absen dalam membawa “oleh-oleh” cerita dari sekolah. Mulai dari muridnya yang bandel namun pintar matematika. Ada juga muridnya yang pendiam tapi bakat lukisnya bak maestro ternama. Begitu juga muridnya yang retorika bahasanya hampir bisa menyamai Soekarno. Yang perlu di ingat, tidak ada sedikitpun rasa sesal di wajahnya. Tertawa kecil, senyum, senyum dan senyum. Senyum puas dan tertawa bahagia tentunya.
****Mungkin inilah pesan yang ia siratkan ketika aku bertanya mengapa ia bdb memilih untuk kuliah. Dengan penuh perjuangan, ia meninggalkan orangtuanya. Ia memilih untuk di didik di bangku kuliah untuk menjadi lebih terdidik dalam bidang ilmu pengetahuan. Sehingga setelah lulus ia bisa mendidik anak-anak lainnya. Karena mendidik adalah tugas bagi setiap orang terdidik. Dalam hati, aku hanya bisa berkata, “I Love Suamiku : Teacher”.

Comments

Popular posts from this blog

(Karena) Lelaki itu Tukang Olah

Jampok

Bansa Teuleubeh +