Syam S.H.E.A
Perkenalkan nama aku Syamsiah. Nama yang diberikan oleh orangtuaku dua puluh tahun yang lalu. Dari nama saja sudah bisa ditebak, aku dari mana asalku. Aku orang Aceh tulen yang dilahirkan dari keluarga petani. Anggap saja petani yang sukses pada musimnya. Pada musim padi, musim kacang, musim jagung. Itulah beberapa musim kesuksesan orangtuaku. Aku dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Dan yang paling penting adalah pendidikan. Mereka sangat memperhatikan perjalanan pendidikanku.
Dikampungku memang tidak ada sekolah setingkat Taman Kanak-kanak. Itu masih terlalu modern untuk seukuran kampungku. Karena keinginan kuat orang tuaku untuk pendidikanku, aku disekolahkan juga di TK di daerah kota. Jarak tempuhnya sekitar 10 km dengan kondisi jalan yang aduhai. Itulah sedikit perjalanananku waktu kecil. Ketika menempuh sekolah dasar, aku juga menempuh pendidikan di daerah kota. Tepatnya di daerah Lhokseumawe. Waktu pun terus berlanjut, pendidikanku pun semakin menanjak. Berbicara prestasi, aku ahlinya. Prestasiku selalu mengalami perkembangan pesat nan stabil. Peringkatku tidak pernah terlempar dari angka 5 besar. Bahkan sekali waktu menjadi juara umum.
Seiring prestasi yang kian menanjak, orangtuaku justru semakin senang. Walaupun mereka hanya petani yang sukses musiman, pendidikanku terus diperhatikan. Tibalah saatnya aku dipenghujung sekolah menengah atas. Dengan prestasi mumpuni, aku mencoba peruntungan di ibukota Aceh. Tepatnya di Banda Aceh. Banda Aceh bagiku adalah sebuah dunia luar yang baru kali pertama aku jelajahi. Tentunya bisa dimaklumi, faktor ekonomi dan tinggal dipedalaman adalah penyebabnya.
Akhirnya aku lulus di salah satu jurusan favorit segala anak bangsa di bumi Serambi Mekkah. Jurusan yang mengatur kestabilan keuangan negara apabila berhasil nanti. Ya, selaku perempuan desa yang baru melihat kota, aku sedikit agak kaku dalam beradaptasi dengan teman-teman kota lainnya. Mereka yang modis, punya selera fashion yang tinggi. Terlebih lagi mereka sangat konsumtif, dikarenakan mereka terlahir dari keluarga berada.
****
Setahun sudah aku bergelut dengan dunia perkuliahan. Banyak perubahan yang aku dapatkan. Mulai dari cara berpakaian yang sangat berbeda, gonta-ganti pacar. Dan banyak hal lainnya. Setiap bulan aku masih dikirimi uang jajan. Dan sedikit uang tambahan dengan berbagai alasan. Mulai dari fotokopian, beli buku, makalah dan lain sebagainya. Dan yang tidak kalah pentingnya, nama aku sudah berganti. Nama di KTP boleh tertera SYAMSIAH, namun dalam keseharian aku di panggil Shea. S.H.E.A. Lebih keren, lebih gaul, dan lebih modern. Dalam istilah ke-Aceh-an kami dilakapkan dengan “Soem gasien Peudeuh Kaya”. Aku lebih sering menghabiskan waktu di warung kopi. Tentunya bersama teman-teman cowokku. Sudah sangat liar saja kehidupanku. Aku tidak terlalu ambil pusing tentang kehidupan orangtua dikampung. Asalkan aku bisa “gajian” secara sempurna setiap bulannya.
*****
Tahun ketiga kuliah, sudah mulai terasa agak berat. Tetapi dari banyaknya gonta-ganti pacar, aku memiliki banyak kenalan. Banyak di antara mereka adalah fotografer. Fotografer amatir tentunya. Karena faktor inilah aku juga mulai terjun ke dunia “modelling”. Aku boleh saja berasal dari negeri antah berantah, namun paras aku tidak demikian. Cukuplah untuk menjadi objek hunting si fotografer amatir.
Di jantung kota ini, seni fotografi mulai sangat di gemari. Dan model-model amatir pun berjejer rapi. Keadaan ini membuat banyak fotografer tidak susah untuk mencari model fotonya. Tinggal pilih model, membuat janji dan mengatur jadwal hunting. Sangat mudah bukan? Para “model” ini pun secara sukarela memenuhi panggilannya. Negeri seribu dayah ini, boleh saja menasbihkan dirinya sebagai bumi syariat, tapi kami selaku model tidak berlaku demikian. Untuk memenuhi ekspektasi si fotografer, kami sudah berani menanggalkan sedikit pakaian kami. Mulai dari menanggalkan jilbab. Berpose sambil tidur bak model rumah mode dari Milano. Tatapan mata yang penuh nafsu dan lain sebagainya. Alasan utama aku dan teman-teman adalah untuk profesionalitas dan mendapatkan kualitas foto yang bagus.
****
Begitulah sekilas kehidupan aku, seorang gadis kampung yang masih sangat labil. Karena alasan kesenangan dan tuntutan lingkungan, aku terpaksa melupakan berbagai rambu-rambu norma yang ada dalam keyakinan dan kearifan lokal daerahku. Aku mungkin sadar tentang apa yang kualakukan, tapi apa boleh buat. Sudah terlanjur meuleuhop. Nanti taubatnya tinggal di akumulasi saja ketika sudah tiba waktunya.
Comments
Post a Comment