Celotehan Pohon
Tahun
2014 merupakan tahun politik. Bagi sebagian orang inilah tahun yang paling
menentukan. Ada juga yang beranggapan bahwa tahun ini adalah tahun pertaruhan
antara hawa jahat dan hawa baik. Namun sebagian lainnya tidak menganggapnya
spesial. Apalagi berniat untuk ikut andil dalam pertarungan ini. Walaupun
begitu, orang yang demam politik tetap tidak sebanding dengan masih sehat.
“Itu
kan kepentingan mereka, untuk apa kami masyarakat ambil pusing.”
Mungkin
begitu suara terang yang banyak beredar di masyarakat. Karena melihat apa yang
sudah terjadi. Hanya kampanye kosong. Tidak disarankan sama sekali untuk di
percaya. Beberapa celotehan kampanye (bagi saya) seperti kita akan mendapat
baju gratis setiap lebaran. Kita akan mendapat beras setiap bulan. Kita akan
berwisata rohani gratis ke negeri arab. Buktinya tidak satu pun yang
terealisasi. Atau dengan kata lain hanya fiktif belaka. Seperti di sinetron dan
FTV lainnya. Mungkin saja para elit ini lagi bermain sinetron. Adalah hal yang
wajib bagi pesinetron untuk mengikuti casting, sebelum membintangi sebuah
sinetron. Dan casting itu bernama Pemilu.
Di negeri
saya, Indonesia tanah air beta, katanya, prosesnya itu sangat nyentrik. Banyak terjadi
tindakan kriminal sebelum Pemilu seperti pelecehan seks terhadap pepohonan. Saudara
jangan menghakimi saya ini berfikiran cabul, karena otak saya memang cabul. Bagaimana
tidak? Seorang wakil rakyat baik ibu maupun bapak, dengan teganya melecehkan
pepohonan di pinggir jalan. Mereka dengan khilafnya menusukkan paku pada pohon
untuk mengiklankan muka jeleknya. Saya sempat mewawancarai beberapa pohon seperti
Bapak Akasia, Ibu Kelapa, dan juga Dek Pinang.
*****
“Tuan
Akasia, apa kabar?” saya bertegur sapa.
“Kabarku
kurang baik, tentunya kamu tahu. Ini kan mau Pemilu. Badanku pun banyak yang
luka. Sudah hampir sepuluh tahun aku di aniaya. Mereka menusukkan paku tepat
di perutku. Sudah berkali-kali aku diperlakukan semena-mena. Tanpa asuransi
kesehatan. Obat merah pun tak kunjung ku dapatkan. Apalagi JKA. Opss, JKRA maksudku.”
Lalu secara spontan, Ibu Kelapa juga ikut
curhat.
“Bapak
itu gak malu ya, nempelin muka di badan saya. Udah perutnya bau uang korupsi,
otaknya pun masih sangat perawan. Entah apa yang bisa diperbuat untuk kalian
nantinya?” Ibu kelapa memaki calon wakil rakyat itu dengan setulus hati.
Saya
hanya menjawab singkat, “Bersenda dibilik istana dengan para dayang.”
Dek
Pinang juga mengungkapkan kekesalannya dengan sebuah puisi, “Wahai bapak caleg, jangan kau sodomi aku
dengan paku payungmu. Juga ibu caleg, jangan kau perkosa aku. Aku sakit, kamu dosa.
Itu dosa . Itu dosa."
“Wahai ibu
caleg, apa kau tak malu? Suamimu menantimu di bilik kamar. Namun engkau tega
memperkosa aku di pinggir jalan. Wahai bapak caleg engkau terlalu kasar. Kau sodomi
aku di depan layar.
“Kemana aku
akan mengadu? Polisi pun tak ada. Hakim pun sedang merana. Kemana aku mengadu. Tak
mungkinlah aku mencerca anak cucumu. Karena ini salahmu. Ini salahmu.”
Setelah
banyak mendengar banyak kekecewaan pepohonan, saya menyimpulkan beberapa hal. Tentunya
sudah terlalu sering kita melihat demonstrasi kekecewaan terhadap pemerintahan.
Banyak mahasiswa yang turun ke jalan untuk protes. Namun para pemangku
kekuasaan tidak pernah menggubris. Saya hanya berpesan, jangan pernah salahkan
mereka yang duduk di keraton sana. Mereka bukannya tidak mendengar. Bukan juga tidak
melihat. Perlu di ingat, ketika berkampanye, pepohonanlah media mereka. Juga tidak
lupa beberapa tiang listrik dan tiang telepon. Dan ketika wakil rakyat itu menang,
secara tanpa sadar, tabiat media partner yang bisu nan kaku itu juga ikut melekat di hati mereka.
Comments
Post a Comment